Melupakan Belum
Topik Pilihan Kompasiana kali ini sungguh mengingatkan saya tentang pengalaman pribadi yang terjadi sewaktu kami masih aktif sebagai eksportir
Untuk jelasnya izinkanlah saya kutip sebait dari Kompasiana:
Kompasianer, apa, sih, yang bikin kita mudah sekali memaafkan tetapi sulit sekali melupakannya? Apakah itu bentuk berpura-pura untuk memaafkan, tetapi sesungguhnya masih mendendam?
Momen seperti itu lazim sekali kita mengenalnya dengan 'forgive but not forget'; memaafkan, tetapi bukan berarti melupakan.
Nah, adakah peristiwa atau kejadian yang membuat Kompasianer berada di posisi seperti itu?
Berbagi pengalaman pribadiÂ
Sewaktu Export kami sudah mulai maju, maka kami ingin mengembangkan usaha dengan menambah jenis komoditas ekspor.
Kalau selama ini ada biji kopi, Cassia,Pinang dan gambir, kini juga membeli damar batu Untuk itu kami menyewa gudang satu lagi .Khusus untuk damar batu karena tidak bisa dicampur dengan kopi dan kulit manis.. Sehingga praktis ada 3 gudang untuk produksi komoditi ekspor.
Sebelum itu di kediaman kami ada seorang anak muda Andi(bukan nama sebenarnya) datang dan menceritakan kepada kami bahwa dirinya sudah yatim-piatu. Kalau diizinkan, ingin membantu kami dalam hal apa saja.
Karena anak ini berlaku sopan dan sudah yatim piatu, maka kami menerimanya untuk membantu apa saja yang dapat dilakukan nya  Misalnya  menyapu gudang dan menyusun barang yang sudah dipakai ketempat semula.  Setiap hari datang dan melakukan pekerjaan tersebutÂ
Melihat itu suami merasa anak itu baik dan mengizinkan bekerja di gudang kami . Karena dia jujur dan ringan tangan maka suami mempercayakannya untuk menimbang barang dan membuat bon pembelian. Â Karena berbagai kesibukan dan yakin Andi anak yang jujur, maka suami mempercayakan gudang tersebut pada nya. Dalam keartian, Andi diberikan kepercayaan sepenuhnya untuk sekeluarga menjadi Kepala Bagian Produksi Damar Batu dan sekaligus menerbitkan Bon Barang masuk dari berbagai daerah.Â