Sistem ekonomi di Indonesia masih menggunakan model linear, model yang dianggap mampu memaksimalkan hasil dan keuntungan. Namun, model linear tersebut merupakan model yang tidak berkelanjutan untuk jangka panjang karena pendekatan sistem linear menggunakan pendekatan "ambil-pakai-buang". Ekonomi sirkular merupakan sebuah sistem ekonomi yang didesain untuk meminimalkan limbah dan memaksimalkan penggunaan sumber daya alam dengan mempertahankan barang dan bahan dalam siklus produksi dan konsumsi yang terus-menerus. Sistem sirkular ini dibuat untuk mengubah pola ekonomi linear yang menghasilkan limbah menjadi ekonomi yang berkelanjutan dan ramah lingkungan. Ekonomi sirkular tidak hanya berfokus pada manfaat ekonomi tetapi juga mempertimbangkan dampak lingkungan dan sosial dari aktivitas ekonomi. Adanya ekonomi sirkular dapat menciptakan lapangan kerja baru, peningkatan efisiensi ekonomi, dan inovasi baru. Ekonomi sirkular juga menerapkan 5R, yaitu Reduce, Reuse, Recycle, Recovery, dan Repair.
Sekitar 55% populasi dunia saat ini bertempat tinggal di wilayah perkotaan dan di masa mendatang jumlah penduduk perkotaan diproyeksikan akan terus meningkat. Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2020 menunjukkan sebanyak 56,7% penduduk Indonesia tinggal di perkotaan dan memprediksikan proporsi penduduk perkotaan dapat mencapai 70% pada tahun 2035. Besarnya jumlah penduduk perkotaan akan menuntut permintaan pangan di perkotaan juga meningkat, sedangkan lahan yang dapat digunakan untuk memproduksi pertanian sangat terbatas. Lahan perkotaan seringkali dimanfaatkan untuk industri, perkantoran, dan permukiman sehingga lahan yang dapat dimanfaatkan untuk pertanian tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan penduduk perkotaan. Akibatnya, pasokan pangan perkotaan didukung banyak wilayah pedesaan sekitar kota. Data Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) membuktikan 70% dari semua makanan yang diproduksi secara global ditujukan untuk konsumsi penduduk perkotaan.
Salah satu program ekonomi sirkular di Indonesia, yaitu pertanian urban. Pertanian urban merupakan praktik budidaya, pemrosesan, dan distribusi bahan pangan yang dilakukan di daerah perkotaan. Praktik ini, meliputi penanaman sayuran segar, buah-buahan, tanaman hidroponik, dan lainnya. Adanya urban farming bertujuan untuk menghasilkan hasil pertanian atau panen yang berbagai macam tanaman dengan memanfaatkan lahan terbatas, seperti halaman belakang rumah, atap gedung, dan taman-taman kota.
Implementasi Circular Economy dalam Program Urban Farming di Surabaya
Surabaya adalah kota metropolitan terbesar ke-2 terbesar di Indonesia. Dengan penduduk sekitar 2,8 juta orang, kota ini memiliki kebutuhan makanan yang sangat besar. Urbanisasi yang pesat menyebabkan banyak masalah yang rumit, termasuk ketersediaan lahan, ketahanan pangan, kualitas lingkungan, dan interaksi sosial antar warga. Pemenuhan pangan warga Kota Surabaya tidaklah mudah, mereka harus menghadapi tantangan, seperti minimnya lahan untuk berkebun, sehingga mereka ketergantungan kiriman makanan dari luar wilayah, seperti Banyuwangi, Pasuruan, dan Jember. Dalam kondisi seperti ini, pertanian kota menjadi solusi dari persoalan tersebut. Urban Farming merupakan praktek budidaya pemrosesan distribusi bahan pangan yang melibatkan sektor pertanian, perikanan, dan peternakan di wilayah perkotaan dengan pemanfaatan lahan yang sempit dan terbatas untuk memenuhi ketahanan pangan lokal. Studi ini akan mempelajari program pertanian yang disebut "Urban Farming Surabaya" dan melihat bagaimana pertanian diruang terbatas perkotaan ini dapat mempengaruhi ekonomi warga sekitar, kondisi lingkungannya, serta keterlibatan dan interaksi sosial antarwarga.
Urban farming di Kota Surabaya muncul karena adanya kesadaran terhadap ketahanan pangan, penghijauan kota, pengelolaan sampah organik, tanaman obat, dan tanaman hias. Pemberdayaan masyarakat Surabaya agar memanfaatkan lahan-lahan terbatas sebagai lahan kebun untuk menanam hidroponik, tanaman sayur (lobak putih, bayam, cabai, sawi, selada, tomat) dan buah-buahan (melon, dan lain-lain) yang ditanam di media pot dan polybag. Kemudian lahan juga dimanfaatkan untuk peternakan, budidaya ikan, serta produk olahan camilan sehat dan minuman herbal. Selain itu, orang-orang yang tertarik pada pertanian perkotaan dapat bergabung dengan komunitas masyarakat Surabaya dan akan memperkenalkan cara bercocok tanam di lahan terbatas, budidaya hidroponik, dan meningkatkan pentingnya ketahanan pangan lokal yang sehat untuk meningkatkan hasil pertanian lokal dan mengurangi ketergantungan pada impor makanan. Kemudian, kebun tersebut dikelola bersama-sama oleh komunitas masyarakat Surabaya dan dirawat dengan sebaik mungkin.
Adanya urban farming di Surabaya berdampak positif pada ekonomi lokal, yaitu biaya konsumsi masyarakat Surabaya. Masyarakat dapat menghemat biaya untuk memenuhi kebutuhan pangan, terutama sayuran dan buah-buahan, yaitu dengan cara menanam sendiri tanaman sayuran dan buah-buahan di kebun halamannya. Hasil panen memiliki kualitas lebih bagus dan segar, serta lebih hemat biaya dan sehat dibandingkan dengan produk yang dijual di supermarket atau pasar dan memiliki harga yang lebih tinggi. Selain itu, pendekatan ekonomi sirkular dapat mendorong munculnya usaha berbasis pertanian kota dengan meningkatkan pendapatan masyarakat Surabaya, yaitu menjual hasil panen mereka dan juga produk olahan, seperti bibit tanaman, sayuran, dan buah-buahan yang sudah panen dan matang. Hal itu dapat dijual dengan cara ditawarkan kepada teman-teman dari masyarakat Surabaya melalui platform online atau langsung dan juga di pasar. Adanya urban farming di Surabaya juga dapat meningkatkan ketahanan pangan bagi rumah tangga masyarakat Surabaya. Meskipun dalam skala kecil, pendapatan tambahan tersebut dapat bermanfaat bagi masyarakat yang memiliki keluarga berpenghasilan rendah. Dengan demikian, urban farming di Surabaya tidak hanya berkebun saja, tetapi muncul cara yang digunakan untuk meningkatkan ketahanan pangan dan ekonomi rumah tangga masyarakat Surabaya.
Tidak hanya itu, aktivitas pertanian kota Surabaya juga berdampak pada lingkungan sekitar. Kebun yang ditanami berbagai jenis tanaman dapat membantu mengurangi emisi karbon karena pangan yang ditanam di dalam perkotaan jarak tempuh yang lebih pendek untuk memenuhi kebutuhan konsumen sehingga mengurangi aktivitas distribusi dan emisi terkait transportasi. Secara tidak langsung, urban farming di Surabaya juga menyediakan Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang dapat menjadi ladang penyerapan emisi dan penyimpanan karbon, baik di tanah maupun tumbuh-tumbuhan. Hal ini tentu berkontribusi terhadap peningkatan kualitas lingkungan dan pencegahan perubahan iklim. Selain itu, penggunaan pupuk organik dari kompos yang dibuat masyarakat Surabaya dari limbah organik juga dapat menghemat biaya produksi dan dapat mengurangi ketergantungan pada pupuk kimia yang dapat berdampak buruk pada lingkungan.
Aktivitas pertanian kota Surabaya juga berdampak pada dinamika sosial, ekonomi sirkular dapat memperkuat komunitas lokal dan meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap konsumsi yang berkelanjutan. Aktivitas berkebun bersama di taman, atap gedung memungkinkan anggota komunitas dapat diajak bekerja sama, saling berinteraksi, dan berbagi informasi. Anggota komunitas berkolaborasi untuk mempelajari siklus hidup tanaman, penggunaan pupuk organik, prinsip-prinsip pertanian yang berkelanjutan. Hal tersebut dapat meningkatkan kesadaran akan pentingnya menjaga lingkungan perkotaan. Melalui kegiatan berbagi hasil panen bersama komunitas dapat meningkatkan solidaritas antar anggota komunitas.
Circular Economy dapat diterapkan dalam ekonomi petani tradisional dengan memanfaatkan limbah pertanian, seperti jerami, sekam, dan kotoran hewan, yang sebelumnya dibuang diubah menjadi pupuk kompos, sehingga dapat mengurangi ketergantungan pada pupuk kimia dan akan menurunkan biaya produksi sekaligus menjaga kesuburan tanah secara alami, serta mengolah kembali sisa panen menjadi produk olahan. Selain itu, sistem pertanian, seperti akuaponik memungkinkan kolam ikan bisa dibangun berdampingan dengan lahan atau kebun pertanian, di mana air dari kolam tersebut digunakan untuk menyiram tanaman dan irigasi tetes dari air hujan yang ditampung. Hal tersebut merupakan teknologi sederhana yang efisien, sehingga dapat meningkatkan produktivitas pertanian tanpa merusak ekosistem. Kemudian, petani juga dapat memanfaatkan sisa dari hasil panen, seperti daun, buah yang cacat untuk diolah menjadi produk olahan (keripik, pakan ternak) dan akan menciptakan peluang ekonomi baru.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI