Mohon tunggu...
Kristiani Ragat
Kristiani Ragat Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswi Ilmu Komunikasi Universitas Katolik Widya Mandira

Pahit sehari cukuplah buat sehari. -Jokpin

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Merekam Kota Kupang

9 April 2021   01:41 Diperbarui: 9 April 2021   15:37 954
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto ini diambil di dalam gedung Pabrik Es Minerva, tempat penyelenggaraan Merekam Kota oleh Sekolah Musa. / dok. pribadi

[Memori, Ruang, dan Imajinasi]

Oktober, 2020 Pabrik Es Minerva, Kota Lama. 

Mungkin terlalu banyak penderitaan dalam hidup telah menghancurkan memori orang-orang. Mereka sering memandang masa lalu dengan mati rasa. -Yu Hua 

Sepenggal kalimat di atas saya kutip dari novel berjudul To Live karya Yu Hua. Kutipan ini sengaja saya pasang untuk menyadarkan kita tentang seberapa perlukah kita merasakan dan menemukan masa lalu. 

Sering kita memandang sejarah dahulu hanya sebatas pandangan biasa karena memang kita tidak hidup di sana. Padahal dari sanalah kita tumbuh di tanah ini, makan dan minum di tanah ini, dan pada akhirnya mati juga di tanah ini. 

Selama 20 tahun hidup di Kota Kupang, yang saya pelajari dari buku sejarah selama kurang lebih 12 tahun hanyalah kemerdekaan Indonesia yang menampilkan Jawa sebagai pusatnya. Sedang apa kabar dengan Kupang? Maksud saya, bagaimana dengan Kupang saat itu? Jikalau menunggu dan diam, tentu kita tak akan pernah tahu, bukan?

Jika bernostalgia, saat duduk di bangku sekolah dasar, saya pernah diajak bertamasya oleh siswa-siswi SMKN 1 Kupang ke tempat-tempat bersejarah seperti Tugu Jepang, Museum NTT, dll, dari situlah saya pikir sesuatu yang ditinggalkan akan menyimpan kenangan dan menjadi bukti masa dahulu pernah ada. 

Saat menikmati masa remaja, saya hanya terpaku pada tulisan di buku-buku sejarah tanpa ingin mengenal Kota Kupang lebih jauh, yang saya tahu, Kupang, saat itu dan saat ini, hanya sebatas kota lama yang ramai dan penghuni kota yang sibuk. Sedang bagaimana dengan Kupang yang dahulu? 

Menenggelamkan diri dalam kegiatan Sekolah Musa (SkolMus) tentang Merekam Kota, saya tidak merasa akan mati, saya malahan merasa pulang ke masa lalu dengan waktu yang sesingkat-singkatnya. Seperti meminjam mesin waktu Doraemon. 

Ide yang sangat brilian. Mengapa tidak? Mereka yang menginisiasi ini adalah kaum muda. Terlihat sangat jelas betapa anak muda sangat merindu fakta dan kisah masa lalu yang terekam dalam bentuk visual,  audio, maupun tulisan. 

Walaupun di tengah situasi zaman yang menantang akibat pandemi Covid-19, tidak serta-merta meluluhlantakkan semangat anak-anak muda ini untuk menyuarakan kerinduan pada masa lampau. Pemilihan tempat yang strategis dan kaya akan nilai sejarah ini pun membuat kita serasa dekat dengan mereka yang dahulu walau terpisah dalam ruang, dibungkus memori, dan tinggal sesaat dalam imajinasi. 

Hari pertama kegiatan, saya mendaftar untuk bincang-bincang bersama orang-orang tua yang bisa dikatakan sangat beruntung merasakan berbagai zaman dan lika-likunya. Ah, tentu kita punya zamannya sendiri. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun