Mohon tunggu...
JPIC Kapusin Medan
JPIC Kapusin Medan Mohon Tunggu... Lainnya - Capuchin Brother

Fransiskan Kapusin

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Perjuangan Bukan untuk Diri Sendiri, tetapi untuk Keluarga

13 April 2021   21:05 Diperbarui: 13 April 2021   21:11 505
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dokpri/olahan dari samrins.blogspot.com

Ada pesan dari Allah kepada manusia, "... penuhilah bumi dan taklukanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang ...." (Kejadian 1:28). Kutipan ini kemudian dimengerti sebagai pesan Allah agar manusia bekerja di bumi yang ditempati. Namun, Allah meminta agar manusia tidak bekerja dengan sembrono, tetapi mengoptimalkan dan memaksimalkan akal budi, rasa, dan kreativitas yang dimiliki.

Bagaimana pesan itu dilaksanakan? Variatif, jawabannya. Pertama, ada yang bekerja dengan sungguh-sungguh. Kedua, ada yang bekerja dengan setengah hati. Ketiga, ada yang bekerja jika ada keuntungan (lebih). Keempat, ada yang sama sekali tidak bekerja, hanya tidur di rumah berharap uang jatuh dari langit atau mengandalkan keluarganya, termasuk isterinya.

Tidak masalah jika isteri bekerja, toh itu juga bagian dari pemenuhan pesan Allah. Asal, suami juga turut lebih bertanggung jawab atas keluarganya. Kerja sama yang baik tentu akan memberikan hasil yang berlimpah.

Bukan bermaksud untuk SARA-isme, saya hanya mau mengangkat satu kekayaan dari budaya sendiri. Ada satu hal menarik tentang kerja, perempuan, dan suku Batak Toba (selanjutnya, Toba).

***

Orang Toba dikenal sebagai orang keras, tegas, displin, visioner, garang, dan pekerja keras. Benar atau tidak, itulah ungkapan yang muncul dari khalayak ramai. He he he.

Barangkali letak geografis (berbukit, tanah kersang, dan kering) pemukiman awal orang Toba turut membentuk kepribadian ini. Mereka harus berjuang hidup dalam situasi demikian. Tidak boleh santai, tetapi mesti kerja keras. Baik laki-laki maupun perempuan harus bekerja keras.

Ditambah lagi, ada filosofi klasik orang Toba, yakni hamoraon (kekayaan), hagabeon (banyak keturunan), hasangapon (kehormatan di lingkungan masyarakat). Bah, Makin mendukunglah ini.

Ya, betul. Orang yang ingin punya kekayaan, tentu harus bekerja keras. Orang yang ingin punya keturunan yang banyak, juga harus bekerja keras. Orang yang ingin namanya dihormati masyarakat sekitar pun harus bekerja keras. Maka, no pain no gain (tak ada pengorbanan, tak ada hasil). Tanpa kerja keras, semua tidak akan didapat.

Untuk itu, terutama bagi kaum perempuan, mereka harus bekerja dengan serius dan gigih. Tak kenal lelah. Pagi hingga sore (bahkan malam) dihabiskan di ladang, sawah, atau kebun agar ada yang bisa 'dimakan' oleh keluarga. Sebelum ke ladang, perempuan biasanya akan masak lebih dahulu. Ada yang dimakan di rumah dan ada yang dibawa sebagai bekal makan siang di tempat kerja. Sore hari, sepulang kerja, mereka pun harus masak lagi untuk makan malam keluarga. 

Bukan hanya kerja keras tanpa lelah, perempuan Toba punya prinsip dang maila (tidak merasa malu). Kerja apa pun akan dilakukan, seperti bekerja di ladang orang lain, mencuci pakaian door to door, mengumpulkan botot, dan menjadi ART (Asisten Rumah Tangga). Semua ini dilakukan, asal ada biaya untuk kebutuhan keluarga, apalagi anak.

Bagi orang Toba, anak itu menjadi hamoraon yang tak terhingga harganya. Dari sinilah, muncul lagu Anakonhi Do Hamoraon di Ahu, ciptaan Nahum Situmorang. Maka, yang terbaik mesti dilakukan untuk anak, terutama pendidikannya. Ibu (Omak) biasanya selalu memberikan nasihat agar anaknya serius dan gigih belajar. Ia tidak ingin anaknya punya nasib yang sama dengan dirinya, yakni hidup susah. Anaknya harus menjadi orang yang sejahtera dan punya kehidupan yang baik ke depannya.

Hal ini bisa juga dilihat dari bentuk atap rumah Bolon (adat Toba). Bagian depan atap rumah dibuat lebih panjang dari belakang rumah. Filosofinya: agar anak lebih sukses dari orang tuanya ke depan.

Untuk itu, pendapatan yang diperoleh si ibu dari kerjanya akan ditabungnya. Zaman dulu, uang dimasukkan ke puro-puro (kantong tempat uang; pundi dari kain). Ini akan dikelola dengan bijak; berapa beli kebutuhan pokok, berapa untuk diberikan kepada suami, dan berapa biaya pendidikan si anak.

Walaupun kadang remeng atau cerewet terkait uang, perempuan Toba selalu punya nilai yang mau ditanamkan kepada suami dan anaknya. Pertama, mendapatkan uang tidaklah gampang, butuh kerja keras dan pengorbanan. 

Kedua, uang tidak boleh dihamburkan begitu saja. Masih ada hari esok yang tidak diketahui kesulitan yang akan dihadapi. Ketiga, sikap menabung dan menghargai jerih payah perlu. Keempat, asal untuk pendidikan tidak apa-apa uang dikeluarkan. Yang penting anak makin pintar dan berprestasi.

Ibu juga menambahi bumbu dalam hidup anaknya. Kadang ia keras mendidik anaknya, tetapi kadang lembut. Nilai yang mau didapat bahwa, kerja keraslah cara memperbaiki nasib hidup, bukan malas-malasan apalagi bergantung terus pada orang tua.

***

Dari sekian pengamatan dan pengalaman, saya juga melihat bahwa perempuan Toba atau persisnya kaum ibu Toba selalu berusaha menahan seleranya demi keluarga. Di warung atau toko atau tempat belanja lainnya, barangkali ada barang berupa pakaian atau sepatu atau baju atau yang lainnya yang begitu menarik bagi si ibu. Tapi, ia ingat bahwa kebutuhan keluarganya, tepatnya anaknya, menjadi prioritas. Untuk itu, ia akan tahan selera itu.

Juga, di tempat-tempat pesta selalu ada hal menarik. Kalau ada makanan atau lauk yang lebih, biasanya kaum ibu akan membungkusnya, dengan ungkapan "Lao si gellengku di jabu" (Untuk anak-anakku di rumah). Dan inilah yang dinanti-nantikan oleh anak-anak, yakni ketika ibu pulang dari pesta, pasti akan ada lauk atau makanan lebih dari pesta, entah itu sedikit. Dan inilah juga bagian dari kebahagiaan anak-anak. (Secuil dari pengalaman. Ha ha ha)

***

Jika dilihat kepribadian R.A. Kartini, kepribadian perempuan Toba di atas punya kesamaan, walau tidak persis serupa. Pertama, berani dan optimis demi yang terbaik. Kedua, hidup sederhana bagi dirinya, tetapi mencoba memberikan yang melimpah bagi keluarganya. Ketiga, rela berkorban demi keluarga dan anak. Keempat, perhatian terhadap pendidikan dan masa depan anaknya.

Demikianlah secuil kisah dari kaum kartini Batak Toba.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun