Oleh : Tia Agustina Hasibuan (mahasiswi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta) & Bapak Syamsul Yakin (Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)
Dakwah, sebagai salah satu pilar utama dalam Islam, tidak hanya dimaknai sebagai ajakan moral dan spiritual, tetapi juga dapat ditinjau dari sudut pandang keilmuan. Ketika dikaji secara mendalam, dakwah sesungguhnya memenuhi syarat-syarat dasar untuk disebut sebagai sebuah disiplin ilmu, sebab ia dibangun melalui pendekatan yang rasional, sistematis, dan berdasarkan pengalaman nyata.
Langkah awal untuk memahami dakwah sebagai ilmu terletak pada sifatnya yang empiris. Ilmu dakwah tidak hanya bersandar pada teori-teori normatif, tetapi juga berasal dari observasi terhadap realitas sosial. Proses penelitian---baik melalui telaah pustaka maupun riset lapangan---menjadi dasar bagi munculnya berbagai teori dakwah yang relevan dan aplikatif. Hal ini membuktikan bahwa dakwah bukan sekadar retorika, melainkan proses ilmiah yang bersandar pada data.
Selanjutnya, ilmu dakwah disusun dengan cara yang sistematis, artinya setiap aspek dalam dakwah diatur secara runtut dan saling terkait satu sama lain. Penyusunan ini mengikuti pola berpikir ilmiah, sehingga memungkinkan siapa pun mempelajarinya dengan mudah dan menyeluruh. Dakwah bukan sekadar praktik spontan, melainkan proses yang dirancang dengan perencanaan metodologis yang matang.
Ciri lain dari ilmu dakwah adalah kemampuan analitisnya. Setiap bagian dari dakwah---baik konsep, metode, hingga penerapannya---dapat dijelaskan dan dihubungkan dengan unsur-unsur lain dalam struktur dakwah. Pendekatan ini memberi peluang untuk memahami dakwah bukan hanya secara potongan, melainkan secara keseluruhan dan menyeluruh.
Dalam ranah akademik, suatu ilmu harus objektif, demikian pula dengan dakwah. Objektivitas menuntut agar dakwah disampaikan berdasarkan fakta dan bukan atas dasar prasangka, emosi, atau kepentingan pribadi. Sikap netral ini penting agar dakwah bisa diterima secara luas tanpa menimbulkan bias atau penolakan yang tidak perlu.
Kemudian, ilmu dakwah juga harus bersifat verifikatif, yakni memungkinkan setiap teori atau konsep dakwah diuji dan dibuktikan kebenarannya di lapangan. Konsep dakwah yang tidak bisa diuji atau tidak terbukti efektif dalam praktik, akan kehilangan nilai ilmiahnya. Oleh sebab itu, setiap teori dakwah perlu divalidasi melalui realitas sosial yang dihadapi masyarakat.
Aspek kritis juga menjadi bagian penting dari ilmu dakwah. Artinya, ilmu dakwah harus selalu terbuka terhadap evaluasi dan penyempurnaan. Pendekatan ini menghindarkan ilmu dakwah dari sikap dogmatis, dan justru mendorong pembaruan yang sesuai dengan konteks zaman dan kebutuhan umat.
Sebagaimana disiplin ilmu lain, dakwah juga harus memenuhi kaidah keilmuan seperti rasionalitas, metodologis, dan keterbukaan terhadap pengujian. Dengan mengikuti prinsip-prinsip ini, dakwah tidak hanya berkembang sebagai alat penyebaran nilai-nilai Islam, tetapi juga sebagai studi akademik yang memiliki landasan epistemologis kuat.
Terakhir, ilmu dakwah dituntut untuk bersifat logis. Artinya, argumen dan penjelasan yang dikemukakan dalam dakwah harus dapat diterima akal sehat dan masuk akal. Penalaran yang runtut dan argumentasi yang koheren menjadikan dakwah lebih mudah diterima oleh berbagai kalangan, terutama generasi intelektual yang mengedepankan nalar.
Dengan demikian, ketika dakwah memenuhi karakteristik empiris, sistematis, analitis, objektif, verifikatif, kritis, ilmiah, dan logis, maka ia layak ditempatkan sebagai suatu ilmu yang sejajar dengan disiplin keilmuan lainnya. Dakwah tidak hanya menjadi sarana penyampaian pesan agama, tetapi juga berkembang sebagai instrumen ilmiah yang membuka ruang diskusi, evaluasi, dan inovasi dalam kerangka berpikir ilmiah.