Oleh : Tia Agustina Hasibuan (Mahasiswi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta) & Bapak Syamsul Yakin (Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)Â
Dalam realitas dunia modern, keberagaman tak lagi bisa dihindari. Globalisasi dan pluralisme menjelma sebagai kondisi sosial yang mutlak. Masyarakat dipaksa untuk tidak hanya mengakui adanya perbedaan baik dari segi suku, agama, budaya, maupun status sosial tetapi juga membuka ruang bagi masing-masing individu dan kelompok untuk mempertahankan serta mengembangkan identitas dan kepentingan mereka secara merdeka. Sikap menolak keberagaman dengan dalih perbedaan, apalagi disertai kekerasan dan eksklusivisme, tak hanya keliru, tapi juga bertentangan dengan semangat zaman.
Agama, terutama Islam, dalam konteks ini tidak bisa lagi direduksi hanya sebagai alat politik atau kekuasaan seperti masa lalu. Ia telah berkembang menjadi sumber nilai moral dan panduan etis dalam hubungan antar manusia baik antarindividu, antarpemeluk agama, maupun antara rakyat dengan pemimpin. Meski demikian, di panggung internasional, Islam masih kerap dicurigai sebagai agama yang menentang pluralisme dan nilai-nilai demokrasi. Narasi negatif ini diperkuat oleh sejumlah opini dan framing yang menyudutkan dunia Islam, seolah-olah menolak kebebasan dan keberagaman.
Padahal, tuduhan tersebut tidak berlandaskan pada fakta menyeluruh. Banyak negara Islam yang sesungguhnya hanya sedang mempertahankan prinsip ajaran mereka dari bentuk-bentuk penindasan global yang cenderung hegemonik dan tidak adil. Menyudutkan Islam hanya karena mempertahankan nilai-nilai keimanan adalah bentuk reduksi yang tidak adil.
Momentum hijrah Nabi Muhammad saw ke Madinah menunjukkan sebaliknya. Hijrah merupakan titik balik besar dalam membangun masyarakat yang inklusif dan berkeadilan. Di Madinah yang dihuni berbagai suku dan agama, Rasulullah menegakkan prinsip persaudaraan dan persatuan. Piagam Madinah yang beliau susun bersama komunitas setempat bukan hanya sebuah perjanjian damai, melainkan fondasi konstitusi yang menghargai hak semua kelompok secara setara baik Muslim maupun non Muslim.
Piagam tersebut bahkan dianggap sebagai tonggak awal peradaban Islam yang menjunjung tinggi keadilan sosial dan kebebasan sipil. Ia menegaskan bahwa Islam memiliki landasan kuat untuk hidup berdampingan dalam masyarakat majemuk dan demokratis. Al-Qur'an sendiri mengakui keberagaman sebagai bagian dari kehendak Tuhan. Dalam banyak ayat, perbedaan suku, bangsa, bahasa, bahkan keyakinan, disebut sebagai tanda-tanda kebesaran Allah. Maka, menerima perbedaan bukan hanya nilai sosial, melainkan juga nilai spiritual.
Secara historis, Nabi Muhammad saw pun memberikan teladan dalam hal ini. Dalam sebuah peristiwa penting, Rasulullah menerima usulan strategi perang dari Salman al-Farisi seorang mantan budak. Meski usul tersebut berbeda dengan pendapat para sahabat terkemuka, Nabi lebih mengutamakan kualitas ide dibanding latar belakang sosial pengusulnya. Ini membuktikan bahwa nilai demokrasi dan meritokrasi telah hadir dalam praktik kenabian sejak awal.
Dengan demikian, Islam bukanlah sistem yang anti terhadap demokrasi atau pluralisme. Sebaliknya, Islam hadir untuk memelihara kerukunan, menghargai perbedaan, dan menegakkan keadilan bagi semua. Nabi Muhammad saw tidak hanya dikenal sebagai utusan Tuhan, tetapi juga sebagai pembaru sosial yang berhasil menciptakan masyarakat berlandaskan nilai kemanusiaan universal. Sudah saatnya umat Islam, terutama di Indonesia, menjadikan spirit hijrah sebagai jalan menuju masyarakat yang damai, adil, dan saling menghormati dalam kebinekaan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI