Mohon tunggu...
Thurneysen Simanjuntak
Thurneysen Simanjuntak Mohon Tunggu... Guru - Nomine Kompasiana Awards 2022 (Kategori Best Teacher), Pendidik, Pegiat Literasi, serta Peraih 70++ Penghargaan Menulis.

www.thurneysensimanjuntak.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Sistem Zonasi PPDB sebagai Solusi Pemerataan Pendidikan

13 Agustus 2018   09:08 Diperbarui: 25 Juni 2019   06:06 910
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kalau guru mendidik anak pintar menjadi pintar, itu biasa. Tapi, kalau guru mampu mendidik anak yang biasa-biasa saja dari sisi kemampuan dan menjadi pintar, itu baru luar biasa.

Begitu juga dengan sekolah. Kalau sekumpulan anak-anak pintar masuk ke sebuah sekolah dan kemudian sekolah itu menjadi sekolah unggulan atau sekolah favorit, sepertinya tidak sulit mencari sekolah yang demikian. Tapi jikalau sekumpulan anak-anak terbatas kemampuannya masuk ke sebuah sekolah dan kemudian mereka mampu berprestasi bahkan mengharumkan nama sekolah, ini baru namanya hebat.

Perbincangan seperti itu, bukan sekali dua kali kami diskusikan dengan rekan sesama guru. Perbincangan itu semata-mata sebagai pengingat atau mungkin teguran kepada kami guru agar memandang murid itu sama atau tidak membeda-bedakannya. Artinya, tidak hanya senang ketika bertemu atau mengajar anak didik yang kemampuannya di atas rata-rata. Tapi bersedia dan tulus juga menerima atau mengajar anak yang kemampuannya di bawah rata-rata.

Singkatnya, jangan pernah memilih-milih anak untuk dididik, hanya karena kemampuan atau kepintarannya.

Tapi nampaknya di masyarakat hal itu sudah tertanam kuat. Bahwa setiap menjelang tahun ajaran baru, sekolah unggulan atau favorit umumnya akan mulai melakukan pemerimaan siswa baru berdasarkan nilai atau prestasi secara ketat. Hal itu sah-sah saja sebenarnya untuk menjaga kualitas. Hanya dengan sistem yang demikian akan menutup rapat-rapat kesempatan bagi orang yang kurang mampu atau kurang pintar, yang sesungguhnya kemampuan atau kepintaran itu pun bukan sesuatu yang statis, tapi dinamis.

Sistem demikian pun semakin diperkuat oleh orangtua yang dengan gencarnya mencari sekolah unggulan atau sekolah favorit. Tidak peduli tempatnya jauh dari rumah yang mungkin menyebabkan anak kecapekan atau memungkinkan sering terlambat menuju sekolah tersebut.

Mungkin berbeda dengan prinsip yang saya dan orangtua anut. Walau secara nilai (baca Nilai Ebtanas Murni), saya bisa masuk SMA negeri favorit waktu itu, tapi karena sekolah tersebut jauh (sekitar 12 km), maka saya justru memilih sekolah yang lebih dekat dengan rumah (sekitar 5 km). Hasilnya, saya masih sempat bermain sepulang sekolah dengan teman-teman. Memiliki banyak waktu dengan keluarga.

Ternyata sistem yang sudah berjalan begitu lama, di awal tahun ajaran ini mengalami perubahan. Sistem Zonasi dalam Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) pun mulai dilakukan. Sontak masyarakat luas dan sekolah mulai bereaksi. Ada yang pro, ada pula yang kontra.

Untuk memahami Sistem Zonasi tersebut lebih jauh, saya pun  menghadiri acara Kompasiana Perspektif di Kemdikbud (6/8/2018) yang  bertemakan " Optimisme menguatkan pendidikan dan memajukan kebudayaan  Indonesia" yang langsung dibawakan oleh Dr. Ir. Ari Santoso, DEA  (Kepala Biro Humas Kemdikbud).

Sistem Zonasi  itu sendiri telah memiliki dasar hukum melalui Permendikbud Nomor 14 tahun  2018. Khususnya pada pasal 16 ayat 1 dan 2 dikatakan : (1) Sekolah yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah wajib menerima calon peserta didik yang berdomisili pada radius zona terdekat dari Sekolah paling sedikit sebesar 90% (sembilan puluh persen) dari total jumlah keseluruhan peserta didik yang diterima. (2) Domisili calon peserta didik sebagaimana dimaksud pada ayat 1 berdasarkan alamat pada kartu keluarga yang diterbitkan paling lambat 6 (enam) bulan sebelum pelaksanaan PPDB.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun