Mohon tunggu...
Thufiul Lailatul
Thufiul Lailatul Mohon Tunggu... -

Mahasiswi Ilmu Komunikasi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta 2015.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tanah Air Wartawan

31 Desember 2015   10:39 Diperbarui: 31 Desember 2015   10:49 26
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Dunia pers tidak akan lepas dari yang namanya wartawan. Disana kita akan bergelut dengan ramainya halayak. Mulai dari politik, sosial, ekonomi, kriminal, samapai hal yang tidak masuk akal. Semua akan terangkum dalam bingkai beita. Berita adalah suatu informasi yang bisa diketahui oleh halayak ramai. Dimana lakon yang mencari beritanya disebut wartawan. Dari segi bahasa, wartawan berasal dari kata warta dan wan. Dalam bahasa Jawa warta diartikan sebagai berita. Jadi wartawan adalah orang yang berprofesi sebagai pencari berita. Julukan kuli tinta pun sempat tersematkan dalam eksistensinya bekerja. Jika dipersepsikan, dewasa julukan ini seolah negatif. Pekerjaan sebagai kuli bisa dibilang jenis pekerjaan untuk golongan menengah kebawah. Seolah-olah profesi ini hanya sekedar mencari dan menumpahkan tinta hitamnya diatas kertas putih. Tidak ada nilainya dibanding dengan pekerjaan lain.

Peran wartawan telah merangkum bukti sejarah berdirinya negara Indonesia. Berkat campur tangannya kepingan-kepingan sejarah yang berumur puluhan tahun masih tersimpan rapi di beberapa museum. Mereka juga telah memiliki beberapa media cetak, seperti surat kabar dan majalah. Sampai-sampai ada surat kabar yang ingin dibredel dari jam tayangnya. Hal ini dipicu dengan gagasan mereka yang tidak sejalan dengan penguasa.. Kenekatan untuk mencoba berjalan mencari hak mereka ternyata harus dihadapi dengan pergaulan diri. Isu tersebut tentunya membuat prihatin akan nasib dunia penyiaran.

Paragraf diatas sudah mewakili sedikit gambaran seorang wartawan di masa orde baru. Kita tahu bahwasanya kepemimpinan yang penuh otoritas tersebut, seolah menjadi momok bagi siapapun yang ingin bebas saat ini. Negara Indonesia memang sudah merdeka dengan titelnya sebagai negara demokratis, tetapi pada prakteknya belum semuanya bisa terealisasi. Seperti main api dalam sekam. Akhirnya bisa meledak kapan saja. Semuanya terkupas pada era reformasi. Para mahasiswa dari masing-masing universitas bergabung menjadi satu dan menuntut adanya kebebasannya. Sampai kebebasab pers bisa mengudara. Meminta akan haknya untuk direalisasai.

Dengan adanya kebebasan pers wartawan bisa menggunakan hak dan menjalankan tugasnya sesuai tanggung jawab. Dimana disana juga ada UU pers untuk mengatur sepak terjang dalam dunia penyiaran. Bukan berarti wartwan bisa seenaknya untuk memberikan informasi, tetapi mereka dibekali pengetahuan dan ada kode etiknya masing-masing. maka untuk saat ini instansi pers mensyaratkan S1 dalam proses perekrutan sebagai wartawan. Hal ini dijadikan patokan mengingat semakin cerdasnya masyarakat bertingkah laku. Seorang wartawan tidak hanya sekedar mencari dan menyampaikan berita, tetapi seorang wartwn harus bisa menginspirasi masyarakatnya.

Menjadi wartawan bukan hanya dari lulusan komunikasi atau pun dari penyiaran saj, tetapi semua orang memiliki peluang untuk menggeluti profesi tersebut. Semua berawal dari belajar. Belajar mengetahui berbagai bidang dan bahan yang akan diwartakan. Mau tidak mau tuntutan, tekanan, aturan akan menjadi makanan setiap hari. Suka duka wartawan ternyata juga menyelimuti setiap aktivitasnya. Saat posisi mereka masih dalam tingkat profesi, peluang untuk memperjuangkan idealisme masih terbuka lebar. Tetapi jika profesi itu sudah menjadi tuntutan, seperti tanggungan keluarga. Baik segi materiil maupun keamanan. Seorang kepala keluarga dituntut untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Bagi wartawan yang sudah profesional mungkin gaji mereka sudah cukup, tetapi berbeda bagi mereka yang masih merasa kurang. Sudah menjadi rahasia umum jika seorang wartawan tidak pernah lepas dari ancaman. Karena mereka berhadapan dengan publik yang menpunyai banyak karakter masyrakat yang berkaitan dengan warta yang akan disiarakan. Tentu narasumber selalu menginginkan dimunculkan dalam berita yang baik. Jika hasilnya tidak sesuai dengan keinginan narasumber, maka hal tersebut akan menuai komplain. Disini lah pergulatan perasaan itu tidak bisa dielakkan.

Saat kita melihat sosok wartawan, persepsi kita pertama kali adalah telihat berwibawa dengan penampilannya yang meyakinkan. iu bagi yang menilai positif. Tetapi bagi yang memandang negatif, wartawan itu dipandang sebagai seseoarang yang suka main, berambut gondrong, tidak pernah mandi, dan tampil apa adanya. Sepasang mata boleh memandangnya masing-masing. Jika seorang aktor ingin mendapat nilai plus maka tinggal berjalan sesuai kode etik dan berpenampilan sesuai karakternya. Hal ini bisa dilakukan oleh semua wartawan. Tetapi nilai plus pada jiwa wartawan dewasa ini apa masih ada? Apakah dia ingin menjadi wartawan profesional apa mau jadi waratawan abal-abal? Yang mau amplop sana-sini. Hal ini seharusnya menjadi bahan evaluasi bersama-sama. Dimana salah satu kode etik wartawan harus menyampaikan berita sesuaia fakta yang ada. Pastinya dengan ketentuan-ketentuan yang telah tercantum. Maka kecerdasan dalam memanagemenkan berita sangat diperlukan. Tidak cukup berfikir kritis dan matematis. Tugas apa yang diberikan dijalankan begitu saja, tanpa adanya korelasi dari sisi-sisis lain yang sebenarnya masih ada peluang di sana. Maka yang benar-benar bekerja sesuai kode etik dengan dasar moral, di sisi itulah hakekat wartawan sebenarnnya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun