Bagi sebagian orang, firasat kematian adalah berkah. Karena, dengan begitu, kita dapat mempersiapkan diri dengan baik menyambut datangnya ajal. Tapi bagi sebagian yang lain, adalah sebuah kemalangan. Betapa tidak, dengan harus berhati-hati dalam setiap tindakan, bukankah itu berarti harus menjauhi segala kenikmatan duniawi? Alangkah malangnya!
Sarpin, seorang lelaki yang sehari sebelumnya genap berusia 60 tahun, mengalami hal itu. Dia berfirasat akan segera mati. Dan itu artinya, dia harus memilih perbuatan dan tempat-tempat yang baik agar mati dalam keadaan husnul khotimah. Dia tidak ingin orang-orang membicarakan hal buruk setelah kematiannya. Sepertinya, hal itu bukan perkara sulit bagi lelaki yang dikenal sebagai orang baik, rajin membantu, dan taat beribadah itu. Tapi, tidak. Ternyata tidak semudah itu.
Suatu maghrib, ketika sedang berjalan menuju masjid, dia melintas di depan rumah seorang janda muda. Perempuan itu meminta tolong kepadanya untuk memasangkan lampu. Tentu, membantu adalah perbuatan baik. Tapi, apa jadinya jika sedang memasang lampu lalu tersengat listrik kemudian mati? Alangkah malunya mati di rumah seorang janda muda.
“Pak, tolong, saya takut gelap!” perempuan itu mengulangi permintaannya.
“Aku akan menolongmu, tapi… apa yang akan kau lakukan jika aku mati saat menolongmu?”
Perempuan itu terdiam mendengar pertanyaan Sarpin. Dia tak tahu harus berkata apa, harus menjawab apa. Dia, bahkan, merasa sedang menghadapi orang lain, bukan tetangga yang sudah lama dikenalnya. Maka, alih-alih menjawab, perempuan itu segera beringsut meninggalkan Sarpin.
*
Mula-mula, firasat itu datang dari mimpi. Mimpi yang datang tepat pada hari keseratus kematian istrinya. Mimpi yang semula tak dianggapnya. Mimpi memeluk keranda. Sungguh, itu mengerikan. Tapi baginya, tak lebih dari bunga tidur belaka.
Anggapan itu baru berubah ketika dua malam berikutnya dia menemukan kunang-kunang berpendaran di halaman rumahnya. Pasti ada hubungan antara kunang-kunang dengan mimpi itu, pikirnya. Kunang-kunang adalah anak ngarai dan tanah kuburan, bagaimana mungkin mereka tiba-tiba datang ke rumahku kalau bukan untuk mengabarkan kematian?
Firasatnya makin kuat ketika beberapa hari kemudian, tepatnya tengah malam, dia mendengar ada yang mengetuk pintu rumah. Namun, tak ada siapa pun di baliknya. "Malaikat maut kah?" bisiknya.
Begitulah, selalu saja ada kejadian yang menabalkan firasatnya. Bahkan, ketika tiba-tiba ada seekor cicak jatuh di pundak kirinya, ia pun menafsir sebagai pertanda kematian: sebuah kematian yang buruk. "Ya, Tuhan, bahkan cicak pun Kau jatuhkan di pundak kiriku, apakah amalanku selama ini begitu buruk?"
Waktu berlalu, namun Sarpin tak kunjung mati. Dia pun mulai bimbang, jangan-jangan firasatnya keliru. Tapi, siapa yang berani bermain-main dengan kematian? Benarlah, kematian adalah kekalahan terbesar kehidupan, pikirnya. Tapi, tidak. Kematian bukan musuh kehidupan. Kematian bukan untuk dikalahkan. Kematian hanyalah ujung perjalanan.