Mohon tunggu...
Thoriq AbdhiRamadhan
Thoriq AbdhiRamadhan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Saya adalah mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung. Saya baru memahami bahwa dengan menulis dapat menghilangkan keresahan yang selama ini ada pada diri.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Penerapan Restoratif Justice Sebagai Solusi Penegakan Hukum Yang Revolusioner dan Berkelanjutan

15 Mei 2023   00:01 Diperbarui: 15 Mei 2023   00:05 177
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: unsplash.com

Tahanan dijadikan pendidikan untuk berbuat jahat.[5] Oleh karena tuntutan publik, Mahkamah Agung sebagai lembaga peradilan tertinggi dalam ketatanegaraan Indonesia mengeluarkan PERMA Nomor 2 Tahun 2012 yang menyesuaikan batasan tindak pidana ringan dan jumlah denda yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Kewenangan itu dikeluarkan sesuai dengan fungsi pengaturan yang dimiliki oleh Mahkamah Agung agar tidak terhambatnya proses peradilan karena tidak sesuainya hukum acara yang berjalan.[6]

Peraturan Mahkamah Agung yang dikeluarkan tersebut adalah penyesuaian terhadap besaran denda. Namun, sanksi yang diterapkan pada pelaku masih sama yaitu 3 bulan. Bahwa telah disebutkan penerapan sanksi pidana penjara pada pelaku tindak pidana ringan adalah tidak efektif dan justru menciptakan mental penjahat yang baru. Selain itu pidana penjara juga menambah beban Lembaga Pemasyarakatan yang telah penuh (overcrowded). Tren di berbagai negara saat ini menunjukkan adanya penggunaan bentuk penghukuman (punishment) alternatif di luar penggunaan hukuman penjara. Perubahan orientasi seperti ini disebabkan karena kebutuhan praktis, yaitu dalam mengatasi overcrowded. Indonesia juga sudah memiliki bentik alternatif dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) yang merupakan pengejawantahan dari konsep diversi dalam membangun hukum yang berkelanjutan.[7] 

Agar memudahkan penegakkan, kemudian lahirlah Peraturan Kejaksaan Nomor 15 Tahun 2020 Tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif. Peraturan ini ditunjukkan sebagai respon untuk menangani permasalah tindak pidana ringan yang sesuai dengan tujuan pidana yaitu memilihkan keadaan seperti semula, sehingga terjadinya kembali keseimbangan serta perlindungan terhadap korban. Mediasi dan kesepakatan sangat ditekankan untuk tercapainya keadilan restoratif dan pelaku juga dapat merasakan hal yang korban alami atas perbuatannya. Hal ini tidak bisa ditemukan dalam keadilan retributif, karena kepentingan korban diwakili oleh negara. Negara memandang bahwa kejahatan merupakan suatu tindakan yang melawan aturan negara dan pelaku harus dihukum atas perbuatannya.[8] Selain itu, korban tidak bisa mengutarakan keinginannya secara langsung. Pada pelaku juga, dirinya tidak mendapat pelajaran dan hanya sekedar mendapat hukum yang pantas tanpa harus memperbaiki hubungannya dengan korban. Bisa saja korban dalam keadilan retributif tidak memaafkan perbuatan pelaku, hal ini tentu memunculkan perasaan dendam yang tidak baik sebagai sesama anak bangsa.

3. Solusi Pemberian Hukuman Dalam Keadilan Restoratif

Dalam penegakkan hukum dikenal pendekatan keilmuan dengan tujuan untuk membangun hukum yang berkelanjutan. Dewasa ini, pendekatan keilmuan jarang dipakai dan cenderung menggunakan sifat praktis dari hukum itu sendiri. Adanya penurunan kualitas pendekatan keilmuan (yang di dalamnya mengandung pendekatan nilai/moral/hatu nurani, objektif, sistemik/integral), hal ini dapat terlihat dari fenomena, antara lain[9]:

  • Adanya realitas seperti “budaya amplop”, “budaya materi”, atau “budaya permainan kotor/tercela (mafia peradilan)”. Kemudian dalam praktik penegakkan hukum terdapat istilah “transaksi hukum/perkara”, “calo perkara”, “makelar kasus”, “pemerasan”, “jual beli tuntutan/putusan”. Anggapan yang berkembang di masyarakat tersebut merupakan bukti lemahnya budaya keilmuan.
  • Banyaknya kasus tanpa menghadirkan ahli hukum, karena dianggap para penegak hukum sudah paham akan hukum. Hal ini merupakan fenomena yang keliru, bahwa seharusnya penegak hukum dapat menggali lebih dalam terhadap suatu peristiwa hukum yang terjadi.
  • Budaya melihat dengan “kacamata kuda”, dengan berpatokan hanya kepada undang-undang tanpa melihat asas-asas, kebudayaan, hukum tidak tertulis, atau tujuan pemidanaan itu sendiri. Banyak penegak hukum yang hafal akan tuntutan undang-undang, tetapi mengabaikan nilai dasar seperti “keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Pemberian hukuman (punishment) tidak selalu harus berkaitan dengan penjara. Terkait dengan pengaruh buruk dari pidana penjara bagi narapidana dengan masa hukuman pendek, pernah dikemukakan alternatif selain pidana penjara yaitu sanksi kerja sosial (community service order), hal tersebut dikemukakan dalam The Fourth United Nations Congress on The Prevention of Crime and The Treatment of Offenders (1970), kemudian di The Fifth United Nations Congress on The Prevention of Crime and The Treatment of Offenders (1975), serta dalam Handbook of Basic Principles and Promising Practice on Atternatives to Imprisonment.[10] Di beberapa negara-negara Eropa telah menerapkan jenis pidana sanksi sosial sejak lama. 

Inggris misalnya, pidana kerja sosial diterapkan sejak 1973 dengan nama Community Service Order. Karena sifatnya adalah untuk memidanakan maka kerja sosial ini tidak dibayar melainkan untuk mendidik dan menimbulkan efek jera. Pelaksanaan pidana kerja sosial dapat dilaksanakan di rumah sakit, panti asuhan, sekolah, atau lembaga sosial lainnya yang disesuaikan dengan kemampuan terpidana. Pidana kerja sosial di Inggris terbukti relatif lebih murah jika dibandingkan dengan bentuk pidana yang lain, karena yang mendidik langsung adalah masyarakat.[11] Di Belanda sendiri pidana kerja sosial hanya dijatuhkan sebagai pidana pokok, pidana kerja sosial ialah pekerjaan yang dilakukan dengan tujuan untuk kepentingan masyarakat umum[12] dan tidak mengandung nilai komersial[13]. 

REFERENSI

1. Marjono Reksodipoetro. 1994. Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana. Jakarta : Universitas Indonesia. Hlm.84-85.

2. Herbert L. Packer dalam Lilik Mulyadi. Op. Cit. Hlm.3.

3. Porlen Hatorangan Sihotang. 2020. Penyelesaian Tindak Pidana Ringan Menurut Peraturan Kapolri Dalam Mewujudkan Restorative Justice (Studi di Polresta Deli Serdang). Iuris Studia Vol.1 No.2. Hlm.108. Diakses dari https://jurnal.bundamediagrup.co.id/index.php/iuris/article/view/37/34, diakses pada 14 Juli 2022.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun