Mohon tunggu...
Thom Aja
Thom Aja Mohon Tunggu... Praktisi

Bapak-bapak yang ingin anaknya menjadi presiden

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Pendidikan Akhlak yang Mangkrak: Ketika Moral Ikut Parkir di Penitipan Motor

12 Agustus 2025   20:20 Diperbarui: 12 Agustus 2025   20:17 26
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di negeri ini, pendidikan akhlak selalu diagungkan. Ia ada dalam kurikulum, dibahas dalam seminar, dikutip dalam pidato pejabat, dan dicetak tebal dalam buku panduan. Namun seperti banyak hal lain di Indonesia, pelaksanaannya sering kali mandek di tengah jalan.

Salah satu contoh kecil namun mencolok adalah larangan membawa motor bagi pelajar yang belum memiliki Surat Izin Mengemudi (SIM). Aturan ini jelas, logis, dan seharusnya tak perlu diperdebatkan: siswa SMP dan SMA yang belum cukup umur tidak boleh mengendarai kendaraan bermotor demi keselamatan dan kedisiplinan.

Tapi mari kita tengok lapangan. Aturan ini hanya hidup di atas kertas dan di spanduk gerbang sekolah. Begitu keluar pagar, semua kembali seperti biasa. Di gang-gang sekitar sekolah, deretan tempat penitipan motor berdiri gagah, penuh dengan motor milik siswa yang "dilarang" membawanya. Larangan ini ibarat payung di musim kemarau---terlihat rapi, tapi sama sekali tak berfungsi.

Pihak sekolah tentu tahu. Tidak mungkin guru dan kepala sekolah tidak menyadari pemandangan ratusan motor siswa di luar pagar setiap pagi. Namun jawabannya klasik: "Kami sudah melarang, urusan di luar pagar bukan tanggung jawab kami." Secara administratif mungkin benar, tapi secara moral itu sama saja dengan menutup mata sambil berpesan, "Kalau mau melanggar, jangan di halaman saya."

Orang tua pun tak kalah andil. Banyak yang justru menjadi sponsor utama pelanggaran ini. Anak belum cukup umur, belum punya SIM, belum paham rambu lalu lintas, tapi sudah dibekali motor lengkap---bahkan sering tanpa helm. Alasannya pun klise: tidak ada waktu mengantar, jarak sekolah jauh, atau "kasihan kalau harus naik angkutan umum".

Lucunya, rasa kasihan itu tak sampai pada kemungkinan anak mereka terlibat kecelakaan. Dan ketika hal buruk benar-benar terjadi dan ini bukan kemungkinan, tapi fakta yang sudah berkali-kali terjadi. Pertanyaan klise pun muncul: siapa yang harus disalahkan?

Sekolah yang membiarkan? Orang tua yang memfasilitasi? Siswa yang belum cukup umur tapi nekat berkendara? Atau sistem pendidikan kita yang sibuk menyusun dokumen visi-misi tapi lumpuh dalam tindakan nyata?

Sayangnya, jawaban yang muncul lebih sering berupa saling lempar tanggung jawab. Semua merasa sudah berbuat yang "terbaik". Padahal yang sedang dilakukan adalah kompromi massal terhadap aturan yang seharusnya tidak bisa dinegosiasikan.

Lebih jauh, dampak dari kompromi ini bukan hanya soal keselamatan di jalan raya. Yang lebih berbahaya adalah pembentukan mentalitas. Ketika anak terbiasa melanggar aturan dan melihat bahwa lingkungan mendukungnya, mereka tumbuh dengan keyakinan bahwa hukum adalah sesuatu yang fleksibel.

Hari ini mereka mengakali larangan membawa motor. Besok mereka bisa mengakali sistem di kampus. Lusa, mereka mungkin jadi birokrat yang mengakali APBD. Dan ketika itu terjadi, kita pun sibuk bertanya: "Mengapa korupsi begitu merajalela?"

Jawabannya sederhana: kita menanam bibitnya sejak dini, menyiramnya setiap hari, dan memetik hasilnya ketika mereka dewasa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun