Di Tengah Derasnya  Tuntutan: Guru Tetaplah Manusia-Bukan Mesin Pengajar
Sepenggal lirik dari lagu grup musik Seurieus yang sempat populer pada 2005 masih jelas terngiang di telinga ini. "Rocker juga manusia---punya rasa---punya hati."Â Bait sederhana itu seakan menyapa dan mengingatkan kita untuk tetap tegar meski sedang tidak baik-baik saja.
Entah mengapa, belakangan ini lirik itu terasa demikian akrab dengan perjalanan hidup saya sebagai seorang guru yang mengabdikan diri pada sebuah sekolah negeri di kota yang memiliki julukan sebagai Kota Beribu Senyuman--Pangkal pinang.
Di balik senyum yang selalu saya sajikan di hadapan para siswa, ternyata diam-diam menyelinap sebentuk rasa yang tak pernah saya undang kehadirannya: keresahan, kejenuhan, dan lelah yang kian menggempur jiwa.Â
Aksara Tetap Hidup, Meski Ragamu Tiada (Mengenang Almarhum Pak Evridus Mangung)
Rasa itu bukan sekedar menyapa dan melelahkan tubuh yang semakin senja, namun juga  merampas ketenangan batin dan mulai menggerogoti emosi yang selama ini saya jaga dengan penuh perhatian.
Ironisnya, perasaan itu muncul justru di saat saya berada di tengah-tengah mimpi indah memeluk erat para siswa, yang setiap hari saya temani untuk menyirami bunga harapan, hingga suatu saat akan mekar dengan indah.
Di sudut kesunyian malam, saya sempat bertanya dalam hati: "Adakah sesuatu yang begitu berat hingga harus meredupkan api panggilan hidup ini?" Pertanyaan yang terus menggema itu terus mendesak dan menuntun saya untuk membuka lembaran catatan sunyi.
Commuting: Bukan Sekadar Perjalanan Pulang Pergi
Lembar demi lembar catatan sunyi itu, membuka diri: seakan menjadi mozaik luka yang tak mungkin untuk saya sembunyikan lebih dalam lagi.
Dari sana saya menemukan dan menyadari tentang suara luka yang bisa menjadi faktor penyebab seorang guru kehilangan semangat untuk mengajar. Adapun faktor-faktor tersebut adalah: