Mohon tunggu...
Theresia Sekar Kinanti
Theresia Sekar Kinanti Mohon Tunggu... mahasiswa Universitas Multimedia Nusantara

Saya adalah mahasiswa Jurnalistik Universitas Multimedia Nusantara.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Kisah Sumarsih, Wujud Kasih Ibu Lewat Aksi Kamisan

11 Juni 2025   05:08 Diperbarui: 11 Juni 2025   05:08 521
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumarsih (kedua dari kiri) di tengah anak-anak muda saat mendengar orasi di Aksi Kamisan. (Theresia Sekar Kinanti Deviatri)

Aksi Kamisan
Hari itu matahari mulai ranum warnanya dan bergegas bergerak ke arah barat. Burung-burung gereja berterbangan ke pohon rindang. Motor dan mobil mulai memadati, ingin segera kembali berisitirahat melepas penat. Belasan payung berwarna hitam bermekaran di depan Istana Merdeka. Segerombol pria muda berseragam coklat muda bergegas memagari orang-orang berpayung hitam. Raut wajah mereka terlihat tak antusias, memandang jauh entah ke langit atau tugu Monas. Seakan meneriakan keinginan untuk segera berakhir. Namun, keinginan mereka masih jauh dari keinginan seorang ibu di hadapan mereka. Keinginan untuk mencari kebenaran.

Di tengah puluhan orang berpayung hitam, seorang ibu berambut putih berdiri tegar menghadap istana. Gayanya kasual. Berkaos hitam bergambar wajah mending sang putra dengan puisi ciptaannya sambil mencangklong tote bag yang senada warnanya.

Setelah satu jam bergeming di depan istana, payung-payung dikuncupkan. Tidak langsung bubar, mereka duduk melingkar mendengar puisi, orasi, dan kuliah jalanan dari mereka yang peduli pada bangsa. Aksi hari itu untuk mengenang Marsinah dan menolak gelar pahlawan Soeharto. Aksi ini memang sudah menjelma jadi wadah peristiwa-peristiwa HAM berat untuk terus eksis di lapisan masyarakat. Lagi-lagi ibu tadi duduk mendengarkan secara seksama.

Ibu itu telah menjelma menjadi ibu segala anak muda Indonesia yang peduli pada keadilan HAM. Semua terjadi setelah Wawan, anak pertamanya, tewas tertembak 26 tahun silam dalam peristiwa Semanggi 1 (13 November 1998). Sudah 18 tahun, ia protes dalam diam di depan istana. Semua orang akrab memanggilnya Ibu Sumarsih. Maria Katarina Sumarsih lebih jelasnya.

Sumarsih dalam setiap kesempatan tidak bosan-bosannya mengabarkan kisahnya kepada publik. Bila menonton atau pun membaca setiap wawancaranya bersama kawan-kawan media atau lembaga swadaya masyarakat, jawaban Sumarsih selalu sama dan konsisten tahun ke tahun. Keaktifannya untuk bisa berbagi pengalaman dan pemikiran adalah salah satu cara Sumarsih merawat ingatan dan mencari kebenaran.

Duka yang Bertransformasi Menjadi Cinta Kepada Sesama
Tentu bagi sebagian orang akan bertanya mengapa Sumarsih terus menuntut seakan tak pernah memaafkan. Namun, perlu diingat bahwa rasa dendam dan amarah tak pernah hilang. Objek kemarahannya selama 26 tahun ini berwujud abstrak.

"Kalau dendam, dendam dengan siapa?" tanya Sumarsih sambil tersenyum masam.

Oleh karena itu, Sumarsih bertekad mengubah perasaan duka cita dari segala pengalamannya menjadi kekuatan. Perjumpaannya dengan para pejuang HAM di Indonesia menjadi kekuatan untuk hidup menegakkan keadilan.

"Dan saya akhirnya menyatakan diri bahwa duka cita saya bertransformasi pada cinta terhadap sesama. Di dalam cinta ada semangat dan harapan. Saya mencintai wawan, wawan ditembak. Duka cita saya bertransformasi pada cinta terhadap sesama dengan memperjuangkan kasus-kasus pelanggaran berat HAM yang masa lalu dan juga kasus-kasus pelanggaran HAM yang berkaitan dengan ekosob (ekonomi, sosial budaya)," jawab Sumarsih mantap.

Jadi, apakah Sumarsih sudah menganggap hidupnya damai? Tidak. Meski sudah 18 tahun berdiri menghadap istana, nyatanya belum ada penyelesaian dari negara.

"Saya nggak bisa merasakan perbedaan damai nggak damai itu yang kayak gimana sih? Nggak pernah merasakan," jelas Sumarsih.

Berdasarkan catatan KontraS, baik di era SBY dan Jokowi, tidak ada solusi yang memiliki intensi serius dalam menyelesaikan HAM. Keduanya menghadirkan lembaga ilusi penyelesaian HAM, tetapi tidak mau membuat sesuai kemauan keluarga korban. Kekecewaan pada pejabat sudah jadi makanan sehari-hari. Namun, Sumarsih punya moto untuk bisa menjalani segalanya.

"Kemudian di dalam perkembangannya, ya saya merasakan bahwa hidup ini seperti air mengalir," ucap Sumarsih sambil mengekeh kecil.

Sumarsih (kedua dari kiri) di tengah anak-anak muda saat mendengar orasi di Aksi Kamisan. (Theresia Sekar Kinanti Deviatri)
Sumarsih (kedua dari kiri) di tengah anak-anak muda saat mendengar orasi di Aksi Kamisan. (Theresia Sekar Kinanti Deviatri)
Bu Sumarsih dan Anak Muda
Selain dalam Aksi Kamisan, Sumarsih juga aktif berkumandang di media sosial. Ia sering berbagi jadwal aksi dan berbagi pendapatnya di X (dulu Tweeter). Aktifnya Sumarsih adalah cara ia terhubung dengan anak muda, terutama anak-anak yang lahir setelah peristiwa 98.

Tak berhenti di situ, Sumarsih sering berdialog bersama anak muda dalam acara di kampus-kampus. Ia melihat bahwa turun ke jalan adalah pilihan hidup.

"Jadi ada beberapa kali ada kampus yang mengundang saya jadi pembicara,  di TOR (term of reference) itu bunyinya anak mahasiswa ga mau turun di jalan karena terlalu mendapatkan kekerasan aparat, terus juga karena membuat jalan macet, dan lain sebagainya. Nah, kembali lagi mau demo atau tidak demo, mau cuek dengan kondisi rakyat, ya itu pilihan masing-masing,"

Namun, Sumarsih percaya bahwa masih banyak mahasiswa yang peduli dengan negaranya. Satu kali ada respon pada cerita Sumarsih ketika dulu melarang Wawan turun ke jalan dengan dalih "negara sudah banyak pengurusnya".

"Bu, kalau yang ngurusin negaranya, orangnya nggak baik gimana bu?" kata Sumarsih diikuti gelak tawa.

Satu hal yang pasti, setiap era ada suara mahasiswa yang muncul demi kehidupan lebih layak. Aksi seperti itu tidak berjalan rutin oleh karenanya Aksi Kamisan menjadi wadah bagi anak muda menyuarakan suara kepedulian kepada negara.

Sumarsih adalah perwujudan dari keteguhan dan kesabaran. Tiap helai rambut yang memutih jadi saksi bisu perjalanan hidup yang penuh lika-liku. Sumarsih masih bertahan unntuk memberi legasi semangat perjuangan HAM kepada generasi muda. Satu hal yang pasti, semua terjadi karena cinta kasih seorang ibu kepada anaknya.

Sumber: https://kontras.org/publikasi/buku/dosa-demokrasi-jokowi
https://www.kontras.org/backup/data/Catatan%20Kondisi%20HAM%20-%2010%20tahun%20SBY.pdf  

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun