Krisis bangsa seringkali tampak dari berbagai hal-hal kecil yang mencerminkan rapuhnya kepemimpinan dan lemahnya moralitas.
Artikel Fobia Ulat Bulu di Republik Hantu karya F. Rahardi membahas fenomena ketakutan massal terhadap ulat bulu yang melanda masyarakat. Penulis menjelaskan bahwa ledakan populasi ulat bulu termasuk bagian dari siklus alam yang wajar dan tidak berbahaya. Ulat bulu pada akhirnya akan bermetamorfosis menjadi kupu-kupu yang memperindah alam, sehingga ketakutan berlebihan yang muncul hanyalah bentuk fobia yang tidak memiliki dasar yang dasar yang jelas.
Lebih jauhnya lagi, artikel ini menegaskan bahwa ketakutan terhadap sebenarnya menggambarkan suatu kondisi sosial bangsa yang lebih serius. Fobia tersebut menjadi simbol dari ketidakmampuan masyarakat maupun pemimpin dalam mengelola persoalan dengan bijak. Indonesia digambarkan sebagai “republik hantu” yang dijelaskan bahwa masalah kecil dibesar-besarkan. Persoalan besar yang ada di Indonesia, seperti korupsi, kemiskinan, dan krisis moral justru diabaikan.
Dalam menyampaikan gagasannya, Rahardi menggunakan perpaduan antara pengalaman pribadi, pengamatan lapangan, dan kritik sosial. Ia mengangkat contoh nyata berupa kebiasaan masyarakat tempo dulu yang mengonsumsi pupa ulat sebagai sumber protein dan pengalamannya melihat melihat kupu-kupu di Purwakarta. Pendekatan ini memperkuat argumennya bahwa persoalan sesungguhnya bukanlah ulat bulu, melainkan ketakutan yang dibangun secara massal dan moralitas pemimpin yang rapuh.
Fobia kecil yang dibiarkan akan melahirkan krisis besar, terutama ketika pemimpin ikut terjebak di dalamnya.
Kritik tajam terhadap lemahnya kepemimpinan juga muncul dalam artikel Sandiwara Pengusutan Pagar Laut Ilegal yang diterbitkan Tempo. Artikel ini menyoroti kasus pagar laut ilegal di pesisir utara Tangerang yang penanganannya lambat dan penuh kontradiksi. antarinstansi. Permasalahan pagar laut yang seharusnya bisa ditangani dengan cepat justru dibiarkan berlarut-larut, sehingga menimbulkan potensi konflik sosial dan menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.
Tempo kemudian menunjukkan bahwa pagar laut tersebut tidak hanya persoalan pelanggaran administrasi, melainkan juga terkait erat dengan kepentingan ekonomi besar di balik proyek Pantai Indah Kapuk 2. Tempo mengungkap adanya keterlibatan perusahaan besar seperti Agung Sedayu Group dan Salim Group yang menegaskan bahwa negara seolah tunduk pada kekuatan oligarki. Kondisi ini memperkuat anggapan publik bahwa negara telah kalah di hadapan kepentingan pengusaha.
Gagasan yang disampaikan oleh Tempo disampaikan dengan bahasa lugas dan kritik yang tegas. Tempo tidak hanya mengecam lemahnya penegakan hukum, tetapi juga mendorong Presiden Prabowo untuk mengambil langkah nyata agar kasus ini dapat cepat diselesaikan. Editorial tersebut diperlukan penekanan untuk evaluasi terhadap proyek strategis nasional yang bermasalah. Dengan demikian, artikel Tempo ini tidak hanya berhenti pada kritik, melainkan juga menawarkan solusi bagi pemerintah.
Bangsa ini sedang berada di tepi jurang kritis ketika sumpah hanya menjadi teks, hukum menjadi sandiwara dan fobia menjadi penguasa pikiran.
Sikap kritis yang mengajak berpikir kembali juga tampak jelas dalam artikel Ketika Sumpah dan Etika Menjadi Teks Mati karya Budiman Tanuredjo. Ia menyoroti sumpah jabatan anggota DPR yang seharusnya menjadi landasan moral, tetapi kini hanya menjadi formalitas. Upaya revisi undang-undang yang bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi menjadi bukti nyata bahwa sumpah dilupakan demi kepentingan politik sesaat.
Pendapat yang ditegaskan Budiman adalah bahwa bangsa ini sedang mengalami krisis keteladanan. Dua puluh enam tahun setelah Reformasi 1998, cita-cita untuk mewujudkan keadilan sosial dan pemerintahan yang bersih belum sepenuhnya tercapai. Sosok-sosok teladan seperti Hatta, Agus Salim, Gus Dur, dan Ahmad Syafii Maarif telah tiada, meninggalkan ruang kosong dalam kepemimpinan moral bangsa.
Budiman menghubunkan tuntutan Reformasi dengan kondisi sekarang yang nyaris tidak berubah. Penyebutan tokoh bangsa dijadikan cermin untuk menunjukkan bahwa etika dan sumpah jabatan tidak boleh berhenti sebagai teks, tetapi harus dihidupi dalam praktik bernegara.
Gerakan “17+8 Tuntutan Rakyat” yang sempat memenuhi ruang digital dengan warna Brave Pink dan Hero Green menunjukkan keresahan publik terhadap kondisi Indonesia sekarang. Melalui simbol dan solidaritas media sosial, masyarakat menyuarakan protes terhadap ketidakadilan dan lemahnya moral politik. Fenomena ini sejalan dengan kritik Rahardi tentang fobia sosial, Tempo tentang negara yang tunduk pada oligarki, dan Budiman tentang sumpah yang dikhianati. Ketiganya berpadu menjadi cermin nyata bahwa persoalan lama bangsa ini masih terus berulang dalam wajah baru.
Ketiga artikel ini menjadi pengingat bahwa bangsa ini tidak butuh sumpah baru atau aturan tambahan, melainkan keberanian moral, keadilan hukum, dan kepemimpinan yang jujur. Tanpa adanya hal itu maka fobia sosial, sandiwara hukum, dan sumpah kosong hanya akan terus memperpanjang krisis di negeri ini.
Sumber artikel
1. Fobia Ulat Bulu di Negeri Hantu (F. Rahardi, Kompas.com) , 2. Sandiwara Penyelesaian Pagar Laut Ilegal (Editorial Tempo), 3. Ketika Sumpak dan Etika hanya Menjadi Teks Mati (Budiman Tanuredjo, Kolom Kompas, 28 Agustus 2024)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI