Pendapat yang ditegaskan Budiman adalah bahwa bangsa ini sedang mengalami krisis keteladanan. Dua puluh enam tahun setelah Reformasi 1998, cita-cita untuk mewujudkan keadilan sosial dan pemerintahan yang bersih belum sepenuhnya tercapai. Sosok-sosok teladan seperti Hatta, Agus Salim, Gus Dur, dan Ahmad Syafii Maarif telah tiada, meninggalkan ruang kosong dalam kepemimpinan moral bangsa.
Budiman menghubunkan tuntutan Reformasi dengan kondisi sekarang yang nyaris tidak berubah. Penyebutan tokoh bangsa dijadikan cermin untuk menunjukkan bahwa etika dan sumpah jabatan tidak boleh berhenti sebagai teks, tetapi harus dihidupi dalam praktik bernegara.
Gerakan “17+8 Tuntutan Rakyat” yang sempat memenuhi ruang digital dengan warna Brave Pink dan Hero Green menunjukkan keresahan publik terhadap kondisi Indonesia sekarang. Melalui simbol dan solidaritas media sosial, masyarakat menyuarakan protes terhadap ketidakadilan dan lemahnya moral politik. Fenomena ini sejalan dengan kritik Rahardi tentang fobia sosial, Tempo tentang negara yang tunduk pada oligarki, dan Budiman tentang sumpah yang dikhianati. Ketiganya berpadu menjadi cermin nyata bahwa persoalan lama bangsa ini masih terus berulang dalam wajah baru.
Ketiga artikel ini menjadi pengingat bahwa bangsa ini tidak butuh sumpah baru atau aturan tambahan, melainkan keberanian moral, keadilan hukum, dan kepemimpinan yang jujur. Tanpa adanya hal itu maka fobia sosial, sandiwara hukum, dan sumpah kosong hanya akan terus memperpanjang krisis di negeri ini.
Sumber artikel
1. Fobia Ulat Bulu di Negeri Hantu (F. Rahardi, Kompas.com) , 2. Sandiwara Penyelesaian Pagar Laut Ilegal (Editorial Tempo), 3. Ketika Sumpak dan Etika hanya Menjadi Teks Mati (Budiman Tanuredjo, Kolom Kompas, 28 Agustus 2024)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI