Mohon tunggu...
Theodorus BM
Theodorus BM Mohon Tunggu... Administrasi - Writer

Seorang pemuda yang senang menyusun cerita dan sejarah IG: @theobenhard email: theo_marbun@yahoo.com wattpad: @theobenhard

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

"An Angel Called Mom"

8 Januari 2019   07:47 Diperbarui: 8 Januari 2019   08:52 140
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku merapikan bajuku. Jas ini terlihat lusuh, padahal sebentar lagi aku akan bertemu dengan para petinggi. Aku tidak bisa menemukan kaus kakiku. Hanya sebelah saja, sebelah lagi entah dimana. Dimakan kucing sepertinya, pikirku. Aku membentangkan diri di atas tempat tidur. Aku memandang keluar, memerhatikan angin menggoyang -- goyangkan dedaunan di batang pohon. Langit tidak memberikan tempat kepada sinar matahari. Biru pekat terlukis, menandakan sebentar lagi akan turun hujan lebat. Aku memejamkan mataku.

Sidang perceraianku dengan Aminah akan mencapai tahap akhir Sabtu ini. Usia pernikahan kami baru dua tahun. Aku menyesali diriku, jika saja aku tidak bermain -- main di malam itu, semua ini tidak akan terjadi. Seorang gadis polos berusia kira -- kira lima belas tahun melemparkan senyum manis ke arahku. Polos, atau begitulah pikirku. Hal berikutnya yang kuketahui aku sudah melakukan hal tabu bersamanya di atas ranjang. Aku bukanlah manusia pintar. Aku tidak bisa menyembunyikan jejak -- jejak persenggamaan ketika menuju rumah.

Ayah marah besar. Ketika kuhadapi emosinya tidak tertahankan, menyebabkan sakit jantungnya kumat saat itu juga. Kami bersegera menuju rumah sakit. Tidak sampai seminggu ayahku dinyatakan wafat. Menuju bumi. Aku menangis sejadi -- jadinya. Dan Aminah tidak peduli. Ia tetap melancarkan gugatan cerainya. Perutnya yang sudah membesar tetap tidak bisa mengubah pendirian hatinya. Aku merasa semuanya begitu cepat terjadi. Hanya dalam hitungan minggu aku kehilangan harta moralku.

Dan kini aku akan segera kehilangan harta lainnya.

Aku melangkah memasuki gedung kantor sembari menenteng koper di tangan kananku. Memerhatikan orang lalu lalang di kanan dan kiriku, aku melangkah menuju lift. Di dalam lift aku menyiapkan perkataan -- perkataan yang akan aku ucapkan kelak. Aku mengulang -- ulangi, agar hapal. Pintu lift terbuka. Aku segera melangkah menuju ruangan rapat. Ruangan ternyata telah dipenuhi oleh para kolegaku.

"Selamat pagi, Bu Liana, kami sudah menunggu anda. Kita akan segera memulai rapat ini."

Aku mengangguk dan melangkah menuju kursi kosong. Aku segera menyiapkan berkas -- berkasku. Seseorang yang berada di ujung meja memulai rapat di siang ini.

"Seperti yang sudah kita ketahui bersama, aku ingin memuji departemen marketing kita. Penjualan saham perusahaan meningkat drastis. Secara spesifik aku ingin memberikan pujian kepada kepala baru departemen, Bapak Jun Kobal. Berkat ide -- idenya perusahaan kita bisa untung besar!"

Seluruh anggota rapat bertepuk tangan, termasuk diriku.

"Hanya saja," ia melanjutkan, "ada sebuah departemen yang berada di rapor merah. Sudah tiga bulan, dan kami sudah memberikan kesempatan tiga bulan berikutnya. Tidak ada perbaikan. Sebenarnya aku tidak suka untuk mengumumkan di rapat ini. Hanya saja aku lelah terus memperingatkannya. Bu Liana, aku mohon maaf, departemen legal dan prasarana akan memiliki kepala baru mulai besok. Aku harap ibu dapat memiliki masa depan cerah di tempat lain. Ibu dapat membereskan meja ibu, karena besok Pak Gundus akan duduk di meja ibu."

Aku tertunduk mendengar perkataan pemimpin. Aku bahkan belum sempat mengutarakan perkataan yang kuhapal di kepala. Sembari menitikkan air mata, aku memohon diri keluar dari ruang rapat. Aku tidak melangkah ke ruanganku. Aku membuka pintu tangga darurat dan melangkah naik. Terus melangkah. Hingga sampai di puncak. Langit biru kelam menyambutku. Hujan rintik -- rintik mulai turun. Aku melangkah menuju tepian dan menatap ke bawah. Aku menutup mulutku. Air mata terus mengalir dari mata yang terpejam. Diriku enggan berpikir lagi. Aku melompat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun