"Njas.. Anjas, tangi njas.. ayok budhal"Â (baca: Njas.. Anjas, bangun njas.. ayo berangkat)
Sayup-sayup terdengar suara teman-teman membangunkan saya dari balik jendela kamar yang menghadap ke jalan setapak di samping rumah.
Kebetulan ini adalah malam pertama puasa Ramadan 1417 H. Saat itu saya duduk di bangku sekolah dasar kelas 2. Â Setiap datang bulan Ramadan, ada banyak aktivitas yang biasa saya lakukan.
Salah satunya tradisi "kotekan" atau membangunkan sahur. Berbekal alat musik sederhana yang terbuat dari botol kecap, jerigen atau galon bekas, botol kratindeng, kaleng cat bekas, serta pipa bambu, kami telah bersiap untuk menyusuri dinginnya malam.
Bak kelompok drum band profesional kami berbaris mengatur formasi. Kami mulai perjalanan dari musala yang berlokasi di sebelah gang rumah saya. Saya tinggal di Magersari sebuah kampung padat penduduk. Setiap gang kami lalui dengan memainkan alunan nada berirama.
"Sahuuuurrr.. Sahuuuurrr.. Tek dung tek.. Sahuuuurrr.. Sahuuuurrr.. Tek dung tek.."
Begitulah kira-kira penggalan lirik yang kami gaungkan berulang-ulang. Meskipun hawa dingin menerpa kulit, kami tak gentar sedikitpun karena kotekan begitu menyenangkan.
Tradisi ini berlangsung turun-temurun sejak zaman dulu. Walaupun terlihat sederhana, namun ternyata banyak warga yang memberikan apresasi kepada kami karena jadi terbantu bisa bangun sahur. Bahkan seringkali kami mendapatkan bagi-bagi makanan seperti kue basah, buah-buahan hingga makanan ringan. Sebuah kombinasi antara pahala akhirat dan kenikmatan dunia (hehe..)
Selepas kotekan, kami kembali ke rumah masing-masing untuk santap sahur. Bapak dan ibu telah bersiap di ruang tamu dengan menu telur ceplok sambal kecap.Â
Selain kotekan masih ada beberapa tradisi yang mewarnai perjalanan Ramadan saya semasa kecil. Berikut ulasannya.
Pondok Ramadan