Bukan keajaiban membukukan tulisan para Kompasianer. KutuBuku, di mana saya, TS, dengan Isson Khairul merawat kejernihan pikir dalam menulis. Jika kali ini perihal Toleransi, tersebab sedang menyalak-nyalak intoleransi di belantara milenial kini.
Saat ditawarkan ke lingkar dalam – kayak jalan bebas hambatan di dalam kota saja, yang sesungguhnya macet-macet juga – KutuBuku sambutannya antusias sekali. Saya ikut, Bang, Mas, Pak! Bahwa kemudian macet, ya bisa dimaklumi pula. Mereka kan manusia juga. Berbagai alasan yang memang bisa dimaklumi. Sungguh, tanpa basa-basi.
Namun yang menggembirakan, ketika perihal ini saya tawarkan kepada teman-teman baru KutuBukuers. Antusias meski awalnya gamang. Mereka, sesungguhnya punya potensi menulis, dan setidaknya sudah berlatar belakang memadai: Strata Satu, bahkan banyak yang lebih. Pasca Sarjana. Dan benar. Tulisan mereka lebih dari lumayan sebagai pemula! Hanya karena belum tahu jalan saja. Inilah yang menggeret KutuBuku ke ranah bermarwah sebagai guru untuk menulis. Baca: pendidik. Bukan sekadar guru. Mereka dari Cianjur (Erni Wardhani, Ade Supartini, Nuraeni, Nita Helida, Atjih Koerniasih) dan Bogor (Ning Ayu).
Guru besar yang merupakan sahabat Gus Dur asal bangkalan, Madura, yang satu ini memang pantang menampik kalau ada perseorangan atau komunitas dan apalagi media untuk meminta “kejar setoran, istilahnya”. Jadilah sebuah pengantar bernas, sesuai dengan kapasitas seorang guru besar. Ada idiom yang diambil dari Gus Dur, sehingga TS sebagai editor memberinya judul: Pluralisme itu Satu Rumah Banyak Kamar.
33 Kompasianer menulis di Kolam Kompasiana, suatu yang menjadikan warna tersendiri buku ini. Pas, klop dengan tema yang disorongkan ke teman-teman dengan berbagai latar belakang: guru, dosen, aktivis, ahli hukum, jurnalis, profesional di KutuBuku. Empat di antaranya Kompasianer bermukin di Luar negeri: Itali, Australi, Jerman, Malaysia, yakni: Gordi, Tjiptadinata Effendi, Gaganawati Stegmann, Rita Audriyanti-Kunrat. Tentu, bagaimana dengan yang tinggal di sekitar Tanah Betawi alias Jabodetabek. Di samping dari Aceh hingga Papua. Jadilah.
Di sinilah peran KutuBuku untuk waras di tengah pekik sumbang bernama intoleransi. Bahwa dengan menulis, ingin menularkan toleransi dengan cara bermartabat. Ada pembacaan dan pengalaman dari lingkungan, masa lalu serta perenungan setelah kini. Sesungguhnya, bertoleransi itu perlu di negeri berbagai-bagai etnis di Nusantara ini. Bisa lewat wisata (Baskoro, Semarang), pengamatan (Mohammad Mustain, mantan jurnalis, Tuban) masa lalu (Peny Wahyuni) dan dari tempat beribadah keagamaan (Gordi, Luana Yunaneva, Fajr Muchtar), lingkungan yang khas etnis (Johanis Malingkas - Manado, Bambang Setyawan - Salatiga dan Ismail Suardi Wekke - Papua) sampai sosial (Moch Khoiri, M Jaya Nasti) atau Budaya (Yuzelma, Riau). Bahkan di dalam rumah sendiri – dan mengacu judul Kata Pengantar buku ini.
Ya, sungguh ajaib. Sekelompok orang yang mencoba waras di hari libur (week-end) kumpul dan membahas buku yang masih amat sangat kurang di negeri ini (Laporan Unesco 212-2013). Pun tema yang diangkut, soal “keyakinan” orang atau tenggang rasa kelompok tertentu. Lain ladang lain ilalang.
Dari sinilah berhamburan kisah (In) Toleransi dari KutuBukuers dalam buku yang bisa berantakan panjang bak kaca pecah karena sebuah tembakan ngawur. Ada banyak kisah menarik, dan bisa dibilang undercover. Kisah perjalanan penulis pada masa kecil, dalam keluarga, saat masa-masa sekolah, dan lingkungan etnis Cina atau di daerah konflik bernuansa agama. Melengkapi apa yang ada dalam tulisan buku setebal 240 halaman ini.