Mohon tunggu...
Thamrin Sonata
Thamrin Sonata Mohon Tunggu... Penulis - Wiswasta

Penulis, Pembaca, Penerbit, Penonton, dan penyuka seni-budaya. Penebar literasi.

Selanjutnya

Tutup

Foodie Pilihan

Kompasianer Mencicipi Ayam Pedas Anak Kampus

16 Agustus 2018   06:54 Diperbarui: 16 Agustus 2018   07:44 384
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Makan ayam ala mahasiswa Malang (dok. Hery Supri)

Dari Taman Krida Budaya, kami para Kompasianer nggeruduk Cak Per. Tak jauh, hanya berbilang langkah tempat mengudap ala mahasiswa. Memang di situ ada gedung perguruan tinggi  gagah bernama Universitas Brawijaya, plus RSBW yang menjulang tinggi gedungnya.

TS paling depan mengambil nasi, dan memilih ayam potongan paha nan menggiurkan. Sebab, nantinya dicolekkan dengan sambal. Plus lalapan, tentu. 

Tanpa itu nggak pernah diakui oleh dua ibu Kompasianer dari Bandung: Maria G Soemitro dan Intan Ros dalam budaya mengudap ala orang Sunda. "Minumnya apa, Mas?" tawar sang perempuan penjaga. "Es, jeruk!" sahut TS mantap.

Jadilah sebuah ritual makan secara lesehan yang berada di Jalan Soekarno-Hatta itu. Tempat mengganjal perut -- yang disasar ya mahasiswa -- baru berbilang dua setengah tahun jalan. So? Ini kaitannya dengan harga, ya. 

Memang menjadi pertanyaan kepada Ferry Angga secara langsung. Gimana ngitungnya: sepiring nasi dengan sepotong ayam -- kalau saya tetap milih paha, ya -- plus segelas teh tawar hanya dibandrol delapan rebu lima ratus rupiah. Cring! Kontan.

Ada ruang untuk mahasiswa | Makan ayam ala mahasiswa Malang (dok. Hery Supri)
Ada ruang untuk mahasiswa | Makan ayam ala mahasiswa Malang (dok. Hery Supri)
"Kami buka dua puluh empat jam," ungkap salah satu Cak Per dari duo pengusaha pengganjal perut, terutama para mahasiswa. Selain Peri Hadi Susanto. "Jadi tiga shif karyawan di sini melayani  mahasiswa yang misalnya malam-malam habis belajar atau menjalankan tugas, makan di sini," imbuhnya.

Tak berarti Murahan

Acara ICD yang diadakan Kompasiana jadi pelengkap kami Kompasianer dan penjaga gawang Komunitas: KutuBuku, Ladiesiana, RTC, Click, KJog, dan tuan rumah Bolang di tempat makan ramah harga. 

Kalau harga awal delapan ribu lima ratus hingga lima belas ribu, ya mau ke mana lagi mahasiswa mencari? Meski kata punggawanya Ferry, bukan berarti tak memperhitungkan aspek: higenitas, dan standar rasa. Tempatnya sendiri asyik. Ramah lingkungan. Ramah harga, paling utama.

"Kami memang sengaja menyajikan secara prasmanan,"  ujar lelaki yang Minggu siang itu berbatik. Ngertilah, apa maksudnya prasmanan. Biar lebih dekat dengan keinginan mahasiswa, terutama yang kos di Kota Malang -- terbesar kedua setelah Surabaya untuk kawasan Jawa Timur. Ya, apalagi kalau bukan ngambil nasi sesuai dengan kebutuhan mahasiswa. Untuk mengukur seberapa banyak asupan karbohidrat dan nilai gizi yang bisa ditolerir. Sementara, lauknya sudah bisa kompromi dengan lidah. Jadilah.

Makan ayam ala mahasiswa Malang (dok. Hery Supri)
Makan ayam ala mahasiswa Malang (dok. Hery Supri)
Menu utama, ya ayam. Ada ayam bawang, teriyaki, crispy, panggang. Seiring berjalannya waktu, ada tambahan alias berkembang: Lele Crisy, Lele Bakar, Pepes Patin, dan Bandeng Presto. Tambahan: Cah Kangkung, Tauge ikan asin, terong goreng pedas, Mie Cak Per, Tempura sampai Sosis bakar. Saya mah tetep  dengan pilih ayam dengan bagian paha saja. Nantang soalnya. Apalagi ada sambal yang boleh nyiduk sesukanya dari sambal pete, ebi, tomat, bawang, cakok, sampai korek.   

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun