Salah satu kutipan terkenalnya menyatakan: "Seorang penguasa yang ingin bertahan tidak selalu harus menepati janji." Ia juga menyatakan bahwa "lebih baik ditakuti daripada dicintai, jika tidak bisa memiliki keduanya." Semua ini adalah bagian dari apa yang kini disebut "realpolitik" politik berdasarkan realitas, bukan idealisme.
Pengaruh Il Principe terhadap Teori Politik Modern
Buku ini memiliki dampak besar dalam perkembangan teori politik modern. Machiavelli dianggap sebagai bapak "ilmu politik modern" karena keberaniannya memisahkan politik dari moralitas. Dalam pandangannya, negara dan agama tidak perlu berjalan beriringan; politik harus mandiri sebagai praktik rasional yang bertujuan utama menjaga stabilitas dan kekuasaan.
Konsep "raison d'tat" atau "alasan negara" yang kelak dipopulerkan oleh para pemikir seperti Hobbes dan Richelieu bisa ditelusuri akarnya pada Il Principe. Bahkan pemikir politik seperti Thomas Hobbes dalam Leviathan dan Max Weber dalam gagasan "monopoli kekerasan yang sah" ikut mewarisi cara berpikir Machiavelli: bahwa negara berhak menggunakan kekuasaan dengan paksa demi ketertiban.
Dalam konteks Asia Tenggara, pemikiran Machiavelli juga bergaung dalam praktik pemerintahan otoriter yang dibungkus retorika pembangunan. Dalam politik Indonesia, istilah seperti "stabilitas nasional" sering dijadikan justifikasi untuk mengekang oposisi. Di sinilah kita melihat Machiavellianisme hadir secara implisit kekuasaan lebih penting daripada kesepakatan moral.
Penerapan Prinsip Machiavellian di Era Kontemporer
Prinsip-prinsip Machiavellian tampak jelas dalam berbagai fenomena kontemporer. Di panggung global, pemimpin seperti Vladimir Putin, Recep Tayyip Erdogan, bahkan Donald Trump menunjukkan kecenderungan "machiavellian" mengutamakan kekuatan militer, propaganda, pengendalian media, dan manipulasi opini publik demi memperkuat posisi kekuasaan mereka.
Di Indonesia, kita bisa menyoroti masa Orde Baru di bawah Soeharto. Pemerintahan dibangun dengan stabilitas sebagai dalih utama. Lawan politik disingkirkan melalui pendekatan militer dan intelijen, media dikendalikan, dan narasi pembangunan dijadikan alat legitimasi. Ini semua adalah praktik-praktik Machiavellian, meski tidak secara langsung merujuk pada Machiavelli.
Bahkan dalam dunia korporasi dan media sosial, logika Machiavellian tampak dalam strategi branding, manajemen konflik, dan relasi kuasa antara atasan dan bawahan. Seseorang bisa menampilkan persona yang disukai publik, tapi di balik layar menggunakan berbagai taktik manipulatif untuk mempertahankan pengaruhnya.
Il Principe sebagai Cermin, Bukan Pedoman Mutlak
Membaca Il Principe bukan berarti kita harus menerima bahwa semua pemimpin harus kejam dan licik. Sebaliknya, buku ini dapat dibaca sebagai cermin yang memaksa kita melihat realitas kekuasaan secara lebih jujur. Dalam demokrasi, kesadaran semacam ini penting agar kita tidak mudah terkecoh oleh citra.
Machiavelli tidak sedang menyuruh kita menjadi penindas, tetapi menyadarkan bahwa kekuasaan, jika tidak diawasi, cenderung untuk menyimpang. Dalam hal ini, Il Principe adalah peringatan yang relevan di era post-truth, ketika citra lebih penting daripada substansi.