Mohon tunggu...
Thaba Pamungkas
Thaba Pamungkas Mohon Tunggu... Mahasiswa/Penulis

Menulis adalah ruang berekspresi sekaligus laboratorium pemikiran. Dan saya bukan hanya sebatas tertarik, namun juga mendalami dan mengeksplorasi tema-tema filsafat, budaya, serta fenomena sosial yang membentuk kehidupan kita sehari-hari. Di Kompasiana, saya ingin menghadirkan tulisan yang tidak hanya informatif, tetapi juga mengundang pembaca untuk merenung lebih dalam.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Il Principe: Kekuasaan Tidak Membutuhkan Moral

26 September 2025   14:58 Diperbarui: 26 September 2025   14:58 22
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Il Principe - Niccolo Machiavelli (Sumber: IDN Times)

September 26, 2025 by Thaba Pamungkas

"It is better to be feared than loved, if you cannot be both." 

Niccolo Machiavelli (Il Principe).

Dalam dunia yang dihiasi retorika moral dan kemasan etika, kita sering kali lupa bahwa kekuasaan tidak selalu berjalan beriringan dengan kebaikan. Seorang pemimpin bisa tampil karismatik dan penuh janji manis, namun menyimpan niat dan strategi yang penuh tipu muslihat. Di sinilah Niccolo Machiavelli, seorang filsuf dan negarawan dari Italia abad ke-16, tampil sebagai figur yang tak hanya menyingkap wajah asli kekuasaan tetapi juga memetakan jalannya dengan kejujuran yang menohok.

Karyanya yang paling terkenal, Il Principe (Sang Pangeran), bukan hanya buku tentang politik, tetapi peta navigasi kekuasaan yang bagaimana ia direbut, dijaga, dan digunakan. Ditulis pada tahun 1513 dalam masa pergolakan besar di Italia, buku ini tetap hidup hingga hari ini karena kejujurannya yang brutal dan realisme politiknya yang tajam.

Latar Belakang Sejarah Italia saat Il Principe ditulis

Italia pada awal abad ke-16 bukanlah negara bangsa seperti sekarang, melainkan sebuah kawasan yang terpecah menjadi berbagai negara-kota dan kerajaan kecil seperti Firenze, Venesia, Napoli, dan Negara Gereja. Kekuasaan berpindah tangan secara cepat, perebutan wilayah antar faksi, invasi asing dari Prancis dan Spanyol, serta dominasi Gereja Katolik menciptakan iklim politik yang kacau dan berbahaya.

Niccolo Machiavelli sendiri adalah seorang pejabat di Republik Firenze. Ketika rezim Medici kembali berkuasa, ia dipecat, dipenjara, dan bahkan disiksa. Dalam masa pengasingannya inilah ia menulis Il Principe, konon sebagai upaya untuk kembali menarik perhatian keluarga Medici agar ia dapat kembali dipercaya sebagai penasihat. Namun, yang lahir justru adalah karya yang membongkar secara telanjang tabiat kekuasaan itu sendiri.

Menurut sejarawan Peter Burke, kekacauan politik di Italia membuat Machiavelli mengembangkan pandangan bahwa stabilitas hanya bisa diraih lewat pemimpin yang kuat dan cerdas, bukan pemimpin yang semata-mata baik hati. Ia menolak ilusi moralitas dalam kekuasaan, dan justru menekankan pragmatisme ekstrem dimana pemimpin harus bersedia berbuat jahat jika memang dibutuhkan demi mempertahankan negara.

Gagasan Pokok Il Principe

Il Principe bukanlah manual moralitas. Ia tidak menilai apakah suatu tindakan itu baik atau buruk dalam arti konvensional. Yang menjadi ukuran hanyalah: apakah tindakan tersebut efektif? Apakah ia menjaga kekuasaan?

Dalam buku ini, Machiavelli menyarankan seorang pemimpin untuk menguasai dua binatang: rubah dan singa. Rubah untuk mengenali perangkap, dan singa untuk menakut-nakuti musuh. Pemimpin yang terlalu idealis akan mudah dimusnahkan dalam dunia yang penuh tipu daya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun