Mohon tunggu...
Teuku Azhar Ibrahim
Teuku Azhar Ibrahim Mohon Tunggu... Pemuka Agama - Program Manager FDP

Lahir di Sigli Aceh, Menyelesaikan study bidang Filsafat di Univ. Al Azhar Cairo. Sempat Menetap Di Melbourne dan berkunjung ke beberapa negara

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Basmi Pengemis Selamatkan Anak

12 Maret 2015   12:52 Diperbarui: 17 Juni 2015   09:46 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Setiap kali saya berjumpa dengan pengemis yang membawa anak kecil dalam gendongan sebagai umpan untuk memancing rasa iba orang baik, selalu timbul kemarahan berdetam-detam dalam dada. Rasanya ingin menusuk lebih dalam dengan sembilu di luka yang juga mereka pakai sebagai kait untuk menarik recehan dari kantong para penderma lalu-lalang tiap hari.  Jika berjumpa dengan pengemis bermata rabun membawa bayi, rasa ingin membutakan matanya, atau kalau buta sebelah ingin menyempurnakan dengan membutukan sebelah lagi, kalau kakinya puntung satu, ingin menebas yang satu lagi.

Saya punya alasan untuk marah, walau banyak orang juga marah dengan kemarahan saya. Karena, saya termasuk dari sekian orang di dunia ini yang mendapat perlakuan istimewa dari Sang Pencipta dengan belum menganugerahkan keterunan dengan pelbagai alasan. Kalau seandainya anak dalam gendongan pengemis itu anak saya, maka akan kujadikan tubuh telah habis dimakan separuh usia ini, untuk melindunginya dari terik panas mata hari, dan dahsyatnya polusi kendaraan di sepanjang jalan dalam kota dan persimpangan berlampu merah.

Anak-anak dalam gendongan pengemis itu menghirup udara kotor sepanjang hari, paru-parunya yang masih rapuh penuh dengan asap knalpot dan debu jalanan, untuk menumpuk kekayaan para juragan yang menjadikan “iba/belas kasih” sebagai tranksaksi bisnis. Seribu satu pertanyaan terlontar; adakah anak itu lahir dari rahim mereka, anak yang diculik dari orang tuanya oleh para bajingan tanpa moral, orang tua biadab yang menyewakan anaknya dalam bisnis haram, para pembantu rumah tangga atau baby sitter mencari pemasukan tambahan saat majikan pergi kerja? Banyak jawaban telah diberikan bahkan dengan pembuktian, tapi pemerintah dalam hal ini Depsos tidak bertindak selayaknya terutama di kota-kota besar, kalau pun mereka telah bertindak, tapi saya melihat realita masih ada. Atau mereka juga punya anak yang berlebihan sehingga anak-anak di tangan pera pengemis itu menjadi tidak penting.

Saya tidak marah kepada Tuhan yang belum menganugerahkan saya anak, tapi saya marah kepada hamba yang tidak mengerti bagaimana bersyukur atas anugerah anak yang  Tuhan telah limpahkan. Satu keyakinan kuat saya pegang, bahwa Allah senantiasa punya rencana terbaik buat saya. Barangkali salah satunya, keadaan anak-anak di tangan pengemis menjadi perhatian saya, dan memilih jadi guru untuk mengajar anak-anak dari pada menjalani karir yang terhitung mapan.

Lebih kurang, lima tahun silam saya pernah punya anak, ia lahir prematur, paru-parunya lemah, ia sangat sulit bernafas walau dalam ruang ber-ac, dalam tabung telah dilengkapi dengan  sirkulasi oksigen yang bagus, di rumah sakit swasta yang terbaik di kota saya tinggal, dan pada saat karir saya melesat cepat ke atas,  tapi ia tetap tidak bisa menarik nafas dengan baik, satu hela nafas dengan perjuangan keras. Empat belas jam ia berjuang untuk itu, dan akhirnya ia berhenti berusaha, segalahnya berakhir. Sekujur tubuhnya biru bahkan hitam. Saya gendong ia ketika telah menyerah, tubuhnya sangat wangi, begitu hangat dalam pelukan walau tubuh itu telah dingin tanpa detak jantung. Saya menangis saat itu dan hingga hari tetap menetes air mata bila wajahnya terbayang.

Puisi terbaik telah saya tulis untuk mengenang  sebuah peristiwa penting dalam hidup, dan saya enggan membaca puisi itu, karena sangat tajam dan kuat menggali kenangan pahit yang lama telah terkubur. Kadang-kadang sangat rindu dalam hati untuk mengunjungi tempat ia bersemayam, membayangkan ia berlari-lari, melompat-melompat, tertawa ceria menyambung kedatangan sang ayah. Tapi sesampai di sana hanya sebuah gundukan tanah, kecil, tidak lebih dari satu meter panjang, lima puluh senti lebar, sepi di bawah pohon. Walau didampingi oleh nenek dan kakek serta pamannya tapi juga semua dalam keadaan terbaring membisu.

Betapa pentingnya anak itu buat saya, dalam keyakinan kami dikabarkan bahwa anak itu akan menanti kami sebagai orang tua di pintu Syurga, bila kami belum masuk ia akan terus menanti dan meminta, hingga Allah meloloskan permohonannya. Tidak pula saya pungkiri bahwa kepergiannya, membuat semangat saya berkarir menurun atau dalam bahasa positif; menekan rem untuk urusan kejar dunia. Saat saya melihat anak-anak lelaki seumur dengannya, rasa ingin memeluk, mencium, menggendongnya ke masjid, membawa ke taman-taman untuk bermain lempar-lempar bola, mengajar berenang di tepi-tepi laut yang indah sepanjang pesisir negeri kami.

Bukankah saya punya alasan kuat untuk marah pada para pengemis yang telah dengan sengaja menjadi para malaikat kecil korban dan tumbal dalam transaksi bisnis haram. Tidak berlebihan bila berharap pada pemerintah untuk melakukan tindakan tegas dalam menyelesaikan masalah sosial terkait dengan melibatkan anak-anak tak berdosa untuk mengejar kekayaan walau untuk mendukung kehidupan sekalipun. Alasan ekonomi susah bukanlah penyelesaiannya dengan mengorbankan makluk-makluk suci yang masih berada dalam naugan sayap para malaikat.

Mengapa para penegak hukum kadangkala begitu brutal berhadapan dengan para “teroris,” para pencundang yang ingin merebut kekuasaan. Tapi saat perasaan kami orang tua yang diteror dengan  pemandangan yang sangat pedih, tidak ada tindakan yang patut. Ketika kekuasaan cinta kami diobrak-abrik dan hancur berkemping. Semua menjadi penonton. Ataukan saya, dan sekian banyak orang seperti saya adalah sekumpulan orang-orang tidak waras di kolong jagad raya ini. Kepada siapa harus bertanya? Yang jelas saya tidak mau tanya sama rumput yang bergoyang, karena itu hanya memastikan bahwa saya sudah tidak waras. Kalau begitu, saya serukan kepada orang tua yang senasib dengan saya, mari kita beri penafsiran masing-masing tentang realita ini dan kita lawan semampun kita. Pengemis bawa anak adalah musuh bersama. Jangan ditanya tentang cinta kasih yang dilawan dengan permusuhan tapi bertanyalah kepada hati masing-masing. Mengapa para malaikat kecil itu jadi korban.  by  Teuku Azhar Ibr

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun