Mohon tunggu...
Okti Li
Okti Li Mohon Tunggu... Freelancer - Ibu rumah tangga suka menulis dan membaca.

"Pengejar mimpi yang tak pernah tidur!" Salah satu Kompasianer Backpacker... Keluarga Petualang, Mantan TKW, Indosuara, Citizen Journalist, Tukang icip kuliner, Blogger Reporter, Backpacker,

Selanjutnya

Tutup

Money

Nasabah Syariah: Muslim atau Bukan Tidak Rugi Jadi Sasaran

8 Januari 2011   23:07 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:48 712
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Beberapa bulan lewat, saat gencar-gencarnya memperbincangkan  pelebaran sayap Perbankan Syariah ke Taiwan, PT. AXA Finansial Indonesia langsung menyambar kesempatan yang terbuka lebar dengan sigapnya. Siapa cepat dia dapat, tak ada perbankan syariah, tabungan PAS pun tak apa. Sekitar lima bulan terakhir ini, Tabungan PAS (Proteksi Amanah Syariah) sudah membaur bersama para pekerja Indonesia khusus Taiwan. Tabungan ini dibuat atas kerjasama PT. AXA Finansial Indonesia dengan PCI-NU (Pengurus Cabang Istimewa - Nahdlatul Ulama) Taiwan yang berkantor di Xin Hai Rd. Section 1, Taipei. Sekitar awal bulan Oktober 2010, Deny Priyadi selaku Regional Director PT. AXA Finansial Indonesia berkunjung ke Taiwan. Menurutnya, tabungan PAS adalah tabungan khusus yang dibuat untuk semua WNI di Taiwan. Ketika ditanya, apa bedanya tabungan PAS dengan tabungan di bank pada umumnya, Deny menjelaskan bahwa tabungan PAS ini adalah tabungan investasi. Tiap bulan penabung ditentukan berapa harus menyetorkan uang, seperti informasi yang tertera pada brosurnya. "Kalau tabungan biasa, fungsi sederhananya hanya menyimpan uang si penabung agar tidak hilang. Beda dengan tabungan PAS  yang merupakan tabungan investasi. Sambil menyimpan uang, si penabung juga bisa berinvestasi untuk masa depan." Terang Deny sebagaimana dikutip Intai, media cetak bahasa Indonesia di Taiwan. Karena jenisnya syariah, maka tabungan ini tidak memberikan bunga bagi si penabung. Melainkan menggunakan sistem bagi hasil (hasil investasi). Menurut Deny, program tabungan PAS ini dibuat khusus untuk daerah Taiwan, dilatarbelakangi oleh banyaknya jumlah WNI yang bekerja di Taiwan dan adanya permintaan dari para BMI (Buruh Migran Indonesia, kata lain bagi TKI) melalui PCI-NU Taiwan untuk dibuatkan tabungan yang cocok bagi mereka. Program tabungan ini dibuat tujuannya selain membantu BMI menabung dan berinvestasi, juga membantu BMI untuk fokus dalam bekerja, tidak perlu khawatir akan masa depannya. "Program tabungan PAS ada asuransinya, berupa asuransi jiwa, asuransi kecelakaan kerja dan asuransi cacat tetap akibat kecelakaan," lanjutnya. [caption id="attachment_84004" align="alignleft" width="300" caption="Deny Priyadi selaku Regional Director PT. AXA Finansial Indonesia di Stadium Taoyuan Taiwan"][/caption] Deny juga menambahkan jika program tabungan PAS ini aman sambil  menunjukkan profil perusahaan PT. AXA yang berpusat di Paris, Perancis. Bagi yang mengikuti program tabungan ini diberikan buku polis dan kartu polis yang berlaku di seluruh dunia. Batas usia minimal penabung 18 tahun dan maksimalnya 60 tahun. Kantor AXA -NU Taiwan beralamat di 4F, No. 18, Lane 93, Shida Road Taipei. Pihak PAS siap dihubungi untuk keterangan lebih lengkap. Terlepas dari kelebihan maupun kekurangan tabungan PAS tersebut, beberapa orang pekerja yang tengah berlibur di Taipei  mengemukakan tidak tertarik dengan sistem seperti itu. "Kita kerja untuk memenuhi biaya harian dan bulanan. Ada lebih ya kita tabung. Tabungan biasa saya pikir lebih cocok, tabungan (investasi) itu rasanya walau ada syariahnya tidak pas untuk saya," seperti diungkapkan Miftah (34) asal Jawa Timur, telah bekerja di Taiwan selama 22 bulan. "Saya pilih tabungan biasa saja yang mudah diambil dan setoran serta pengambilannya boleh kapan saja. Kalau PAS itu kan tiap bulan atau tahun simpanannya dipatok." Tambahnya diamini pekerja lain yang tengah berkumpul. Mencermati ceruk keuntungan dari bisnis perbankan, sepertinya keberadaan perbankan nasional Indonesia di Taiwan dan di negara lainnya akan segera terlaksana. Akhir tahun 2010 penulis dihubungi Bapak Abu dari Timur Tengah menginformasikan pihak Bank Mandiri (tidak disebutkan Syariah atau Konvensional) tengah mencari kandidat untuk dijadikan Marketing Representative di Taiwan. "Tugasnya membuat program promosi untuk meningkatkan pengiriman uang dari BMI (TKI) Taiwan ke (melalui) Bank Mandiri. Saya sendiri menjadi marketing representative untuk wilayah Timur Tengah, khususnya Qatar atau Saudi Arabia," jelas Pak Abu. Menurut Pak Abu, Management International Mandiri Banking telah mengiklankan job kerja ini di jobstreet.com namun dari Taiwan belum ada kandidat yang mengajukan. Karenanya informasi ini menyebar dari orang ke orang. "Silahkan infokan kepada teman-teman di Taiwan, diutamakan kandidat lulusan minimal D3, bisa berkomunikasi dengan bahasa setempat (Mandarin) minimal dasar, mengirimkan CV ke email saya dalam bahasa Ingris, selanjutnya akan difoward ke SBU HR Mandiri dan proses follow up selanjutnya oleh pihak Bank Mandiri langsung." Demikian penjelasan Pak Abu. Percaya atau tidak Bank Mandiri akan menjadi Bank pertama yang melebarkan sayapnya ke Taiwan, dan atau negara penempatan TKI lainnya yang belum dirambah perbankan Indonesia? Persoalannya tetap tidak semudah itu. Kenapa perbankan  syariah sampai saat ini masih belum juga melebarkan sayapnya ke negara berpenduduk mayoritas non muslim seperti Taiwan? Menurut Muhamad Abduh, Pengajar di Islamic Banking & Finance, International Islamic University Malaysia (IIUM) sebenarnya pihak perbankan bukan berarti tidak mau membuka kantor cabang atau melebarkan sayapnya ke luar negeri (terlepas dari negara non muslim atau bukan) tapi disebabkan adanya beberapa hal. Bisa jadi pihak perbankan belum bisa membuka kantor perwakilan bank (syariah maupun konvensional) di negara terkait dikarenakan kendala misalnya jumlah minimum modal dan investor asli di negara tersebut tidak memenuhi syarat standar. Maksudnya, seperti dituturkan lulusan S3 Islamic Banking & Finance, International Islamic University Malaysia dalam wawancara jarak jauhnya kepada penulis mengatakan tiap negara punya kebijakan berbeda mengenai jumlah aset minimal suatu bank jika ingin buka cabang di negara tersebut. Berikutnya, masih menurut penuturan dari pembicara pada  Pelatihan Wirausaha dan Edukasi Perbankan WGTT (Work Group of Transfer Technology) yang pertama di Taiwan ini, kendala juga bisa timbul jika tidak adanya investor lokal yang mau menjadi partner pihak perbankan. Khususnya di luar negeri yang non muslim, mungkin sebagian kecil saja yang sudah mengetahui sistem perbankan syariah. Karena kurang informasi menjadi penyebab mandegnya semangat dan keinginan mereka untuk mengenal lebih jauh dan menjadi nasabah atau partner perbankan syariah. Hal ini menjadi tantangan tersendiri untuk pihak perbankan syariah, bagaimana merintis memasuki pasar non muslim. "Setahu saya usaha yang masuk ke sebuah negara maka 50% sahamnya atau lebih harus di miliki oleh pengusaha lokal," ujarnya. Untuk itu paling tidak harus membuat pemahaman terlebih dahulu mengenai apa dan bagaimana perbangkan syariah sehingga warga lokal mengerti, percaya dan mau bekerja sama menjadi partner. "Intinya, pengiriman uang bukan sumber utama pendapatan bank walau memang hal itu cukup menggiurkan ya, he he he...!" Ucap lulusan S1 IPB dan S2 Syariah  Universitas Ibnu Khaldun-Bogor ini berseloroh. "Bahkan," lanjutnya, "Itu hanya sebagian kecil saja. Memfasilitasi transaksi besar seperti export-import akan menjadi sumber utama pendapatan bank." Sejalan dengan apa yang dikemukakan  dosen UIIM tersebut, Junanto Herdiawan, ahli ekonomi dan penggiat ilmu filsafat yang bertugas mencermati dinamika ekonomi Jepang, China, Korea, Taiwan, dan Hong Kong menjabarkan hal yang  sama. Melewati perenungan dan pembicaraanya dengan praktisi yang bekerja di bank, termasuk syariah, Junanto yang saat ini tinggal di Jepang mendapatkan kesimpulan bahwa pada prinsipnya pihak bank syariah tentu ingin sekali  mengembangkan sayap ke negara lain, termasuk Taiwan. Namun persoalannya tak mudah. Butuh kajian secara mendalam. Pada ujungnya, walaupun syariah, perbankan juga harus memikirkan bisnis sebagai suatu entitas yang menguntungkan. Di sini ada beberapa pertimbangan-pertimbangan yang dipikirkan, utamanya dari segi efisiensi dan operasional. Mereka harus menghitung cost benefit dalam pembukaan kantor di luar negeri. "Menurut teman di perbankan, kalau membuka kantor cabang dengan hanya mengandalkan pengiriman remitansi, maka bank tidak akan mampu bertahan. Hal ini karena biaya operasi lebih besar dari penghasilan remitansi. Beberapa contoh perbankan di Hong Kong dan Jepang bisa dilihat," jelasnya memastikan. "Oleh karena itu, bank, ataupun perbankan syariah, perlu memiliki outlet ataupun alternatif usaha lain. Hal ini yang perlu dikaji lebih dalam. Apakah pasar di Taiwan memungkinkan perbankan syariah untuk beroperasi?" Junanto selanjutnya menjelaskan masalah lainnya, soal kesepakatan antar otoritas kedua negara. Apakah kedua negara memiliki aturan mengenai pembukaan cabang bank. "Dengan China misalnya, Indonesia baru menandatangani MoU kerjasama pengawasan bank. Lewat MoU itu bank nasional Indonesia baru boleh beroperasi di China. Sebelumnya, tidak boleh. Ketentuan dari pemerintah setempat, yang kadang ketat, membuat tidak mudah bagi perbankan kita untuk membuka cabang atau mengembangkan sayap ke negara lain." "Berbagai hal ini perlu dipertimbangkan matang sebelum lanjut ke pembukaan kantor cabang. Jadi melihat potensi hanya dari sisi demand TKI memang sangat menarik, namun perlu dielaborasi lebih jauh ke bagaimana bank syariah bisa membuka kantor dan bertahan di luar Indonesia yang berpenduduk non muslim seperti Taiwan." Ujar Junanto mengakhiri pembicaraannya. Beberapa nasabah Perbankan Syariah di tanah air justru mengkhawatirkan  menyaksikan fenomena kemunculan bank syariah yang bak jamur di musim hujan, termasuk jika merambah pasar non muslim di luar negeri. "Kapan Syariah bisa merambah Taiwan? Jangankan kantor cabang, ditanya ada akses online nya saja pihak Bank Syariah di Cianjur bilang belum ada tuh, kalau Malaysia katanya ada." Penuturan Iwan (30) seorang pengajar di Cianjur menyampaikan hasil obrolannya dengan pegawai Bank Syariah, Jumat (7/1). "Di tanah air mungkin syariah menjamur, karena bisnisnya, bukan syiar syariahnya." Tandasnya. Pendapat selaras dikemukakan juga oleh seorang nasabah Bank Syariah yang juga seorang writer, editor, dan blogger, Oleh Solihin. "Saya malah berprinsip daripada tidak ada. Alasannya, saya menyimpan dana dan bertransaksi di bank syariah agar terbebas dari riba. Namun di satu sisi, kemudahan untuk mengakses layanannya masih terbatas. Misalnya, layanan internet banking yang belum ada dan jumlah ATM yang minim, meskipun masih tertolong dengan adanya kerjasama dengan beberapa bank konvensional agar bisa bertransaksi melalui mesin ATM mereka. Perlu ditingkatkan layanan secara maksimal dalam memudahkan transaksi dan investasi dengan melakukan upgrade teknologi untuk fitur-fitur perbankan sesuai perkembangan teknologi yang ada." Harapnya. Sejalan dengan pendapat Iwan, kira-kira demikian maksud yang bisa ditangkap dari tulisan Oleh Solihin dalam tulisan syariahnya. Sanggupkah pihak perbankan syariah tanah air menjelaskan dan membuktikan visi dan misinya selama ini di jalur bisnis atau murni syiar (Syariah Islam) walaupun harus menembus pasar non muslim? Inilah tantangan yang perlu dijawab oleh institusi perbankan syariah saat banyak bermunculan dan pastinya akan menciptakan kompetisi diantaranya. Menyinggung kembali pendapat Muhamad Abduh dan Junanto di atas, mencari celah daya tarik supaya dilirik warga lokal (non muslim) gagasan penerapan strategi pengembangan Perbankan Syariah melalui potensi nasabah non muslim itu sendiri sudah gencar dan berlangsung lama. Ali Mutasowifin, staf pengajar IPB dan dosen tidak tetap di beberapa Universitas terkemuka yang sedang menuntaskan gelar Ph. D nya di National Cheng Kung University Taiwan ternyata telah lama menggaungkannya. Dalam jurnal yang ditulisnya dijelaskan tingginya angka perkembangan Perbankan Syariah tak lepas dari dukungan pengkajian dan publikasi prinsip-prinsip serta praktek-praktek Bank Syariah. Namun, di lapangan kajian dan publikasi yang dilakukan hampir seluruhnya membahas bagaimana strategi sukses mengelola Bank Syariah yang terfokus pada nasabah muslim sebagai sasaran utama. Lalu apakah Bank Syariah tidak cocok untuk nasabah non muslim? Ini masalah intinya. Bukan hanya demi merambah jangkauan WNI yang berada di negara non muslim sebagai sasaran, tapi terlebih di Indonesia sendiri terdapat non muslim yang jumlahnya terus meningkat dan memiliki potensi ekonomi yang terus menguat. Universitas Paramadina telah membuat jurnal mengenai bahasan perbankan syariah memasuki pasar non muslim pada bulan September 2003. Mengutip isi jurnal "Menggagas Strategi Pengembangan Perbankan Syariah di Pasar Non Muslim" yang ditulis oleh Ali Mutasowifin, ditekankan ada 3 argumen pokok yang melandasinya. Pertama, bahwa larangan pemungutan riba, yang merupakan ciri utama bank syariah ternyata memiliki akar pada ajaran agama non-Islam. Pengembangan Perbankan Syariah semata-mata masih fokus pada pasar spiritual, yakni kelompok nasabah yang terutama mempertimbangkan kebersihan dan kemurnian transaksi keuangan, serta mengabaikan pasar non muslim. Landasan pertama ini pada nyatanya "diakui" pula oleh non muslim. Dimana non muslim pun (Hindu, Budha, Yahudi maupun Kristiani) mengakui adanya pelarangan riba. (Penjabaran  lengkap di Jurnal Universitas Paramadina, Vol 3. No. 1, September 2003) Kedua, ternyata secara keseluruhan kinerja perbankan syariah lebih bagus dibandingkan kinerja perbankan konvensional. Mendongkrak kinerja perbankan syariah yang membanggakan, banyak kategori relatif lebih baik dibanding bank konvensional, diharapkan penetrasi perbankan syasiah pada pasar non muslim lebih mudah diterima dan diterapkan. Ditinjau dari tingkat efesiensi misalnya, perbankan syariah membukukan laba dari tahun ke tahun yang cenderung meningkat. Kinerja perbankan syariah yang lebih baik dapat pula dilihat dari rasio Financing to Deposit Ratio (FDR) yakni rasio antara pembiayaan yang diberikan dengan dana pihak ketiga yang diterima Bank. Yang mana perbankan syariah mencapai nilai tinggi jauh melebihi rasio Loan to Deposit Ratio (LDR) perbankan konvensional. Perbandingan serupa juga terlihat dari Non Performing Financings (NPF) yakni jumlah pembiayaan yang tergolong non lancar dengan kualitas kurang lancar, diragukan, dan macet, berdasarkan ketentuan Bank Indonesia (BI) tentang kualitas aktifa produktif NPF perbankan syariah hanya 3,96% sementara NPF perbankan konvensional mencapai 8,15% (Biro Perbankan Syariah BI, 2003) Ketiga, berdasarkan penelitian ternyata tidak terdapat perbedaan preferensi yang signifikan dalam pemilihan bank oleh nasabah muslim maupun nasabah non muslim. Menyinggung landasan ketiga, seperti dikutip Jurnal Universitas Paramadina Vol 3, preferensi dalam pemilihan bank, kalangan perbankan syariah umumnya masih membidikkan sasaran pada para loyalis syariah atau pasar yang fanatik terhadap syariah, masih jarang Bank Syariah yang mencoba menangkap pasar mengambang (floating market) atau pasar yang tidak terlalu fanatik terhadap suatu sistem perbankan, konvensional atau syariah. Pasar mengambang bisa berpindah-pindah tergantung pasar mana yang menguntungkan* contohnya TKI. Hampir 80% dari 100 orang TKI Taiwan yang dijadikan nara sumber mengaku tak peduli syariah atau konvensional, yang penting uang yang tak seberapa itu aman, tidak dipotong biaya bulanan yang lambat laun menggerogoti saldo utama; administrasi menjadi nasabah tidak ribet dan menyusahkan. Sebagai tambahan dapat pula disimak hasil penelitian BI tentang "Potensi, Preferensi, dan Perilaku Masyarakat terhadap Bank Syariah di Pulau Jawa" dalam Pokok-pokok Hasil Penelitian butir (5) disebutkan: "Analisis faktor-faktor yang memotivasi masyarakat untuk menggunakan jasa perbankan syariah ternyata untuk masyarakat Jawa Barat dan Jawa Timur yang lebih dominan faktor kualitas pelayanan dan kedekatan lokasi bank dari pusat kegiatan, sedang faktor pertimbangan keagamaan (yaitu masalah halal dan haram) bukanlah menjadi faktor penting dalam mempengaruhi kecenderungan menggunakan jasa Bank Syariah." Hasil penelitian tersebut mengkonfirmasikan penelitian sebelumnya** yang menyebutkan bahwa faktor agama bukanlah pertimbangan utama dalam pemilihan bank dan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara responden muslim dan non muslim dalam penetapan kriteria-kriteria utama dalam pemilihan Bank. Mengutip ulang tulisan Ali Mutasowifin, yang juga Trainer Memulai dan Mengelola Bisnis Baru untuk Pekerja Migran Indonesia di Kaohsiung, Taiwan, Republik Cina pada jurnalnya, dalam tempo yang relatif singkat, perbankan syariah telah mengalami kemajuan yang menggembirakan, baik dari jumlah kantor, jumlah aset, dana pihak ketiga yang dihimpun, atau pembiayaan yang disalurkan. Namun demikian, kontribusi perbankan syariah dibandingkan dengan total perbankan masih amat kecil. Bank Indonesia mengeluarkan Cetak Biru Pengembangan Perbankan Syariah Indonesia sebagai peletak posisi dan cara pandang Bank Indonesia dalam mengembangkan perbankan syariah di Indonesia dan berfungsi sebagai pedoman bagi para stakeholder perbankan syariah. Cetak Biru ini juga memuat inisiatif-inisiatif guna mencapai sasaran yang ditentukan. Salah satu inisiatif penting adalah mendukung terciptanya efisiensi dan daya saing bank syariah. Efisiensi tersebut dapat dicapai antara lain dengan meningkatkan economies of scale dan economies of scope. Dalam konteks ini, perbankan syariah perlu pula memberikan perhatian kepada pasar nonmuslim. Penetrasi terhadap segmen pasar ini diperkirakan akan lebih mudah bila mengingat bahwa ajaran Hindu, Budha, Yahudi dan Kristen pun juga memiliki akar yang kuat mengenai larangan pemungutan riba. Selain itu, dalam pelbagai kategori penting, kinerja perbankan syariah ternyata relatif lebih baik dibandingkan dengan perbankan konvensional. Apalagi, berdasarkan beberapa studi yang telah dilakukan, ternyata tidak terdapat perbedaan preferensi yang signifikan antara nasabah muslim dan nonmuslim dalam kriteria pemilihan sebuah bank. Penggarapan pasar rasional dan nonmuslim, sambil tetap memberikan perhatian kepada umat muslim sebagai pasar spiritual yang utama, diharapkan akan dapat meningkatkan kinerja perbankan syariah lebih baik lagi dalam memberikan pelayanan kepada para nasabahnya. *“Perbankan Syariah yang Semakin Memikat”, Kompas, 30 April 2003. **Dua di antaranya adalah Sudin, H., Norafifah, A. and Planisek, L.”Bank Patronage Factors of Muslim and non-Muslim Customers”, The International Journal of Bank Marketing, Vol. 12 No. 1. Tulisan serupa juga diposting disini dan disini

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun