Di usia 20-an, banyak orang mulai mencari tahu siapa dirinya sebenarnya. Pertanyaan seperti “Mengapa aku ada?” atau “Aku cocoknya di mana?” sering muncul, dan tidak jarang diikuti oleh kebingungan, rasa minder, hingga kehilangan arah.
Di sisi lain, ada juga orang-orang yang memilih untuk menemani mereka melewati masa sulit itu.
Namun, seiring berjalannya waktu, muncul kesadaran bahwa menemani seseorang yang sedang krisis identitas tidak selalu mudah; apalagi jika kehadiran kita justru menguras energi dan menimbulkan luka baru.
Kita hidup di zaman ketika empati menjadi nilai penting. Banyak yang ingin menjadi “penolong” atau “penyembuh” bagi orang lain.
Namun ketika empati tidak dibarengi batas sehat, kita bisa terseret dalam pusaran emosi orang lain. Kita mulai merasa bersalah jika tidak menolong, merasa tidak cukup kalau tidak memberi waktu dan tenaga.
Bahkan kadang merasa tanggung jawab atas kebahagiaan orang lain. Padahal, tidak semua luka bisa disembuhkan dari luar; beberapa harus dipahami dan dipulihkan oleh diri sendiri.
Energi yang Tidak Selalu Seimbang untuk Orang Lain dan Diri Sendiri
Menemani orang yang sedang krisis identitas memerlukan tenaga emosional yang besar. Kita bisa saja berniat tulus, tapi jika orang yang kita temani justru belum siap berubah atau terus memproyeksikan rasa sakitnya ke orang lain, hubungan itu bisa menjadi tidak seimbang.
Lambat laun, energi kita terkuras. Setiap kali kita mencoba menenangkan, malah kita yang ikut terseret dalam kebingungan mereka.
Dalam hubungan seperti ini, bukan berarti kita harus meninggalkan mereka sepenuhnya. Tapi penting untuk menyadari kapan harus berhenti memberi terlalu banyak.