Mohon tunggu...
Tesalonika Hsg
Tesalonika Hsg Mohon Tunggu... Kompasianer 2024

Menyelami komunikasi pada bidang multidisipliner.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menemani Orang yang Krisis Identitas, Worth It-kah?

6 Oktober 2025   18:00 Diperbarui: 6 Oktober 2025   17:24 18
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Menemani Kawan yang Krisis Identitas (Sumber: Unsplash)

Di usia 20-an, banyak orang mulai mencari tahu siapa dirinya sebenarnya. Pertanyaan seperti “Mengapa aku ada?” atau “Aku cocoknya di mana?” sering muncul, dan tidak jarang diikuti oleh kebingungan, rasa minder, hingga kehilangan arah.

Di sisi lain, ada juga orang-orang yang memilih untuk menemani mereka melewati masa sulit itu.

Namun, seiring berjalannya waktu, muncul kesadaran bahwa menemani seseorang yang sedang krisis identitas tidak selalu mudah; apalagi jika kehadiran kita justru menguras energi dan menimbulkan luka baru.

Kita hidup di zaman ketika empati menjadi nilai penting. Banyak yang ingin menjadi “penolong” atau “penyembuh” bagi orang lain. 

Namun ketika empati tidak dibarengi batas sehat, kita bisa terseret dalam pusaran emosi orang lain. Kita mulai merasa bersalah jika tidak menolong, merasa tidak cukup kalau tidak memberi waktu dan tenaga. 

Bahkan kadang merasa tanggung jawab atas kebahagiaan orang lain. Padahal, tidak semua luka bisa disembuhkan dari luar; beberapa harus dipahami dan dipulihkan oleh diri sendiri.

Energi yang Tidak Selalu Seimbang untuk Orang Lain dan Diri Sendiri

Menemani orang yang sedang krisis identitas memerlukan tenaga emosional yang besar. Kita bisa saja berniat tulus, tapi jika orang yang kita temani justru belum siap berubah atau terus memproyeksikan rasa sakitnya ke orang lain, hubungan itu bisa menjadi tidak seimbang. 

Lambat laun, energi kita terkuras. Setiap kali kita mencoba menenangkan, malah kita yang ikut terseret dalam kebingungan mereka.

Dalam hubungan seperti ini, bukan berarti kita harus meninggalkan mereka sepenuhnya. Tapi penting untuk menyadari kapan harus berhenti memberi terlalu banyak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun