Beberapa tahun terakhir, kehadiran kecerdasan buatan (AI) mengubah lanskap pencarian ilmu di dunia akademik.
Jika dulu mahasiswa dan dosen harus bergulat dengan tumpukan jurnal, antre di perpustakaan, atau melakukan penelitian lapangan, kini cukup mengetikkan pertanyaan di ChatGPT atau META AI, jawaban muncul hanya dalam hitungan detik.
Mahasiswa menikmati efisiensi luar biasa. Tugas yang biasanya memakan waktu panjang bisa diselesaikan dengan cepat, berkat kemampuan AI merangkum teori, menyusun kerangka tulisan, hingga menyediakan daftar referensi.
Dosen pun merasakan manfaat yang sama; AI mampu membantu menyiapkan bahan ajar, merancang contoh soal, hingga melacak tren riset terbaru.
Namun, kenyamanan ini membawa konsekuensi serius. AI memang cerdas, tetapi tidak selalu akurat. Jawaban yang tampak meyakinkan bisa jadi keliru, bahkan referensi yang ditampilkan kerap "dihalusinasi" seolah nyata.
Di titik inilah ujian pendidikan sejati muncul, apakah dunia akademik masih mau berlatih berpikir kritis atau cukup puas dengan jawaban instan yang serba mudah?
Risiko "Ilmu Instan" dan Tergesernya Daya Kritis
Kecepatan yang ditawarkan AI membuat banyak orang tergoda untuk melewati proses ilmiah. Mahasiswa bisa saja menyalin jawaban tanpa melakukan pengecekan silang, sementara dosen pun berpotensi mengambil data mentah tanpa menelusuri sumber asli.
Kebiasaan ini berbahaya. Jika dibiarkan, dunia akademik akan kehilangan kedalaman. Ilmu berubah menjadi sekadar hasil konsumsi informasi cepat tanpa dialektika.
Padahal, inti dari tradisi akademis bukan hanya mencari jawaban, melainkan melatih pikiran untuk mempertanyakan, menguji, dan mengolah data.