Hari Minggu kemarin, ketika Indonesia memperingati kemerdekaan ke-80, suasana di gereja saya begitu khidmat.Â
Kami mengumandangkan Indonesia Raya, berdiri tegak bersama-sama, lalu menyanyikan dua lagu bernuansa Indonesia lainnya. Semua terasa megah, seakan-akan kemerdekaan itu benar-benar hidup di tengah jemaat.
Namun, begitu kebaktian usai, saya malah ditanya oleh seorang jemaat, "Ka, merdeka nggak?" Saya hanya bisa tersenyum sinis. Pertanyaan sederhana itu justru menampar.
Apa benar kita sudah merdeka? Atau sebenarnya hanya merdeka di lirik lagu, bukan di realitas hidup sehari-hari?
Sebab ketika pulang dari gereja, yang saya temui bukan sekadar langit biru penuh semangat kemerdekaan, melainkan wajah-wajah lelah masyarakat yang masih bergulat dengan persoalan yang sama: pekerjaan sulit, harga barang naik, pajak menjerat, dan pengamen serta pengemis yang kian merajalela di jalanan. Rasanya merdeka masih jauh dari kata tuntas.
Kemerdekaan, dalam bayangan banyak orang, seharusnya berarti lepas dari segala bentuk penindasan. Tapi ironisnya, setelah penjajah asing pergi, kita justru sering merasa dijajah oleh negeri sendiri. Bukan oleh bedil dan meriam, melainkan oleh kebijakan yang memberatkan, biaya hidup yang mencekik, dan sistem yang seolah tidak memberi ruang bagi orang kecil untuk bernapas lega.
Merdeka yang Belum Tuntas
Merdeka seharusnya memberi rasa bebas, bukan sekadar bebas bernyanyi atau mengibarkan bendera.
Namun apakah seorang anak muda yang harus membiayai orang tua sekaligus adiknya bisa disebut merdeka? Apakah mereka yang hidup dalam beban sandwich generation, yang gajinya hanya numpang lewat untuk cicilan, biaya sekolah, dan kebutuhan rumah tangga, bisa merayakan kemerdekaan dengan tulus?
Banyak di antara kita yang merasa seakan terjebak. Kalau menetap di negeri ini, ada rasa diperbudak oleh sistem. Mulai dari pajak yang semakin melebar hingga iuran wajib yang terus bertambah.
Namun, kalau ingin mencari peluang ke luar negeri, modal yang dibutuhkan begitu besar. Biaya kursus bahasa, pelatihan kerja, hingga akomodasi yang tidak murah membuat "jalan keluar" itu hanya jadi wacana, bukan kenyataan.
Kemerdekaan yang diperjuangkan para pahlawan dulu memang membebaskan kita dari penjajahan asing. Tetapi hari ini, yang kita hadapi adalah bentuk penjajahan baru seperti ekonomi yang timpang, sosial yang penuh kesenjangan, serta generasi muda yang kehilangan ruang untuk bermimpi karena terhimpit realitas.
Mencari Arti Merdeka di Tengah Belenggu
Pertanyaan "Ka, merdeka nggak?" terus terngiang di kepala saya. Mungkin jawabannya tidak sesederhana iya atau tidak. Kemerdekaan tidak selalu hadir dalam bentuk besar seperti berdirinya negara. Kadang, ia muncul dalam hal-hal kecil yang kita perjuangkan setiap hari.
Merdeka bisa berarti punya pilihan, meski sekecil apapun. Merdeka bisa berarti berani menolak ketika ada ketidakadilan. Merdeka bisa berarti melanjutkan pendidikan meski harus berjuang keras, atau tetap bermimpi meski tahu realitas tidak mudah. Dalam arti yang lebih personal, merdeka adalah ketika kita mampu mengendalikan arah hidup, bukan sekadar mengikuti arus yang menenggelamkan.
Tentu, semua ini bukan berarti kita harus pasrah terhadap keadaan. Justru sebaliknya, refleksi kemerdekaan adalah pengingat bahwa perjuangan belum selesai.
Apabila dulu pahlawan berjuang dengan bambu runcing, mungkin hari ini kita berjuang dengan suara, dengan pena, dengan solidaritas, dan dengan kejujuran dalam setiap langkah hidup.
Merdeka bukan soal upacara atau bendera yang dikibarkan setiap 17 Agustus. Merdeka adalah soal memastikan bahwa hidup ini benar-benar layak dijalani, terutama bagi mereka yang berada di lapisan menengah ke bawah.
Jadi, kalau hari ini ditanya lagi "Ka, merdeka nggak?" mungkin saya akan menjawab, "Belum. Tapi saya masih berjuang untuk itu."
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI