Komunikasi yang setara membangun rasa saling percaya, dan kepercayaan adalah bahan bakar utama produktivitas.
Adaptasi Digital dan Kolaborasi Bukan Sekadar Tren, Tapi Kebutuhan
Perbedaan generasi juga tercermin dalam alat dan media komunikasi. Di era kerja jarak jauh dan hybrid seperti sekarang, kanal seperti WhatsApp, Google Meet, Notion, atau bahkan AI seperti ChatGPT menjadi bagian dari ekosistem kerja.Â
Jika atasan tidak mau belajar dan malah meremehkan cara kerja digital yang digunakan generasi muda, maka jurang komunikasi akan semakin lebar.
Pemimpin yang cakap tidak harus ahli teknologi, tetapi mereka harus bersedia mencoba, belajar, dan beradaptasi. Tidak ada salahnya bertanya atau meminta bantuan kepada tim yang lebih muda.Â
Langkah kecil seperti ini bisa membangun koneksi yang lebih kuat antar anggota tim lintas usia. Dengan begitu, bukan hanya target kerja yang tercapai, tetapi juga tercipta lingkungan kerja yang suportif dan terbuka.
Selain adaptasi alat, penting juga bagi pimpinan untuk berempati terhadap dinamika emosional yang berbeda. Banyak Gen Z yang vokal menyuarakan stres kerja atau kebutuhan fleksibilitas.Â
Ini bukan kelemahan, tapi bentuk keterbukaan yang menuntut respon bijak dari pemimpin. Komunikasi yang empatik akan menciptakan iklim kerja yang tidak hanya produktif, tapi juga sehat secara mental.
Mengelola tim multigenerasi bukan tentang mempertahankan otoritas, melainkan membangun kolaborasi yang saling menghargai.Â
Jika atasan tetap bertahan pada pola lama tanpa mau menyesuaikan diri, maka akan semakin banyak miskomunikasi yang berujung pada konflik atau turunnya motivasi kerja.
Sudah saatnya pemimpin tidak hanya menuntut anak muda untuk berubah, tapi juga membuka diri untuk belajar.Â