Kantor bukan lagi ruang homogen yang dihuni satu generasi. Saat ini, ruang kerja menjadi arena kolaborasi berbagai generasi dari Baby Boomers, Gen X, Milenial, hingga Gen Z.Â
Perbedaan karakter, gaya komunikasi, dan ekspektasi kerja pun menjadi tantangan yang tidak bisa dihindari, terutama bagi para atasan yang dituntut untuk bisa menjembatani semua itu.
Namun sayangnya, dalam banyak situasi, justru generasi muda sering kali menjadi sasaran stigma. Gen Z dianggap kurang tahan banting, malas berproses, atau terlalu mengandalkan teknologi.Â
Padahal, bisa jadi masalah sebenarnya terletak pada pola komunikasi satu arah yang sudah tidak relevan lagi. Di tengah era digital dan kerja kolaboratif, gaya kepemimpinan lama perlu diperbarui, terutama dalam hal cara berkomunikasi.
Pahami Pola Komunikasi Setiap Generasi dan Bangun Rasa Percaya
Langkah pertama untuk menciptakan komunikasi lintas generasi yang sehat adalah memahami bahwa setiap generasi terbentuk oleh konteks zamannya.Â
Gen Z lahir di tengah revolusi digital. Mereka tumbuh dengan akses cepat terhadap informasi dan terbiasa dengan komunikasi instan serta visual. Bagi mereka, bekerja bukan hanya tentang hierarki, tetapi tentang makna dan relevansi.
Sebaliknya, atasan dari generasi sebelumnya mungkin lebih nyaman dengan struktur kerja yang formal dan kaku. Ketika pola pikir ini tidak diseimbangkan, gesekan pasti terjadi.Â
Misalnya, saat Gen Z ingin tahu alasan di balik suatu perintah, hal itu sering dianggap membangkang. Padahal, mereka hanya membutuhkan konteks agar bisa bekerja lebih efektif dan merasa dilibatkan.
Penting bagi pemimpin untuk meninggalkan pendekatan satu arah dan mulai membangun ruang dialog dua arah.Â
Tidak ada salahnya melibatkan anggota tim dalam proses pengambilan keputusan atau mendengarkan ide mereka, meski masih junior.Â