Dulu, sebagian besar pelamar kerja menjadikan nominal gaji sebagai pertimbangan utama saat menerima tawaran kerja.Â
Tapi kini, seiring maraknya pemutusan hubungan kerja (PHK) karena efisiensi, pertanyaan yang muncul justru lebih banyak berkaitan dengan keberlanjutan.Â
Apakah perusahaan ini akan bertahan? Apakah saya aman selama 3-5 tahun ke depan? Apakah saya hanya akan menjadi bagian dari strategi sementara?
Fenomena ini tidak muncul begitu saja. Di media sosial, semakin banyak kisah karyawan yang baru bekerja beberapa bulan lalu namun kini harus pulang lebih dulu karena perampingan.Â
Pesan yang tersampaikan secara tidak langsung kepada pelamar kerja adalah bahwa loyalitas dan kerja keras tidak cukup menjamin kelangsungan posisi.Â
Makna bekerja pun perlahan bergeser. Bukan lagi tentang mimpi jangka panjang, melainkan tentang kemampuan bertahan dari siklus yang tidak pasti.
Ketakutan yang Tumbuh dari Realita Kolektif
Pelamar kerja hari ini tumbuh dalam dunia kerja yang terus berubah. Informasi tentang PHK tidak lagi tersembunyi, melainkan tersebar luas dan cepat.Â
Komentar mantan karyawan di platform profesional, unggahan viral tentang perpisahan mendadak, hingga analisis tren industri turut membentuk persepsi bahwa stabilitas kini lebih langka daripada gaji tinggi.
Ketika pelamar mengajukan pertanyaan seperti "Bagaimana kondisi keuangan perusahaan?" atau "Apakah perusahaan pernah melakukan PHK besar?" saat wawancara kerja, itu bukan sekadar formalitas. Itu adalah bentuk komunikasi antisipatif.Â
Pelamar ingin menangkap pesan tersirat, bukan hanya jawaban tekstual. Mereka membaca bahasa tubuh, intonasi, bahkan keengganan rekruter menjawab, lalu membentuk makna di kepala mereka: apakah tempat ini bisa dipercaya?