Mohon tunggu...
Tesalonika Hsg
Tesalonika Hsg Mohon Tunggu... Kompasianer 2024

Menyelami komunikasi pada bidang multidisipliner.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Anak Muda dan Beban "Jadi Sukses Sebelum 30": Perlukah Ubah Stereotip Itu?

3 Mei 2025   14:34 Diperbarui: 3 Mei 2025   14:46 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Beban (Sumber: Unsplash)

Apakah semua anak muda harus sukses sebelum usia 30? Pertanyaan ini mungkin terdengar sepele, tetapi sering kali membebani pikiran generasi sekarang.

Di era digital ini, kita dibanjiri dengan kisah orang-orang yang tampaknya "sudah jadi" di usia muda. Mereka punya rumah, mobil, karier cemerlang, bahkan bisnis sendiri.

Sementara itu, banyak dari kita yang masih berjuang memahami arah hidup, membayar cicilan kuliah, atau bahkan masih mencari tahu siapa diri kita sebenarnya.

Tekanan untuk sukses di usia muda seolah menjadi standar yang tak tertulis.

Jika belum mencapai target tertentu sebelum usia 30, seseorang dianggap gagal, lambat, atau kurang ambisius.

Padahal, kenyataan di balik layar kehidupan setiap orang itu sangat berbeda. Start kita tidak pernah benar-benar sama.

Sukses yang Terlihat dan Realita yang Tersembunyi

Di balik pencapaian yang dipamerkan di media sosial, banyak cerita yang tidak muncul ke permukaan.

Ada yang memulai hidupnya dari nol, menanggung beban ekonomi keluarga, atau berada di lingkungan yang tidak mendukung pertumbuhan.

Tidak semua orang punya privilege untuk mengejar impian tanpa beban tambahan. Ada pula yang harus mengatasi trauma, masalah kesehatan mental, atau tekanan dari keluarga yang mengharapkan terlalu banyak dalam waktu yang terlalu cepat.

Lingkungan yang tidak sehat juga bisa menghambat pertumbuhan seseorang.

Misalnya, seseorang yang tumbuh dalam keluarga yang tidak mendorong perkembangan diri, atau selalu menanamkan ketakutan gagal, tentu butuh waktu lebih lama untuk membangun kepercayaan diri.

Sementara itu, mereka yang berada di lingkungan suportif bisa melesat lebih cepat. Bukan karena mereka lebih pintar atau lebih rajin, tetapi karena mereka tidak harus bertarung dua kali: dengan dunia luar dan dengan dunia dalam diri sendiri.

Saatnya Mendefinisikan Ulang Arti Sukses

Sukses itu bukan perlombaan siapa lebih cepat, tetapi perjalanan siapa lebih sadar dan bertahan. 

Definisi sukses yang sempit hanya membuat kita terjebak dalam perbandingan yang melelahkan. 

Padahal, ada banyak bentuk sukses yang sah untuk dirayakan. Bisa membiayai kuliah sendiri, berani keluar dari hubungan toksik, atau belajar mencintai diri apa adanya adalah bentuk sukses yang tidak kalah berharga.

Setiap orang punya ritmenya sendiri. Ada yang cepat, ada yang lambat, dan itu bukan masalah. Yang penting bukan seberapa cepat kita sampai, tetapi seberapa kita tahu arah yang dituju. 

Kadang, terlalu fokus pada usia hanya membuat kita buta terhadap pertumbuhan yang sedang kita jalani. Kita jadi lupa bahwa proses juga layak untuk dihargai.

Membandingkan diri dengan orang lain hanya akan menambah kecemasan. 

Daripada terpaku pada timeline sosial yang dibuat-buat, lebih baik kita fokus pada progress pribadi. 

Apakah hari ini aku lebih baik dari kemarin? Apakah aku sedang bergerak menuju versi diriku yang lebih sehat, lebih utuh, dan lebih sadar?

Usia 30 bukanlah batas akhir, melainkan titik lanjut dalam perjalanan hidup. 

Tidak semua orang harus "sampai" pada waktu yang sama. Kita perlu ruang untuk gagal, belajar, mengulang, dan menemukan versi sukses kita sendiri.

Dunia sudah cukup keras, jangan jadikan diri kita musuh tambahan.

Saatnya mengubah stereotip bahwa anak muda harus sukses sebelum 30. Sebab sukses itu bukan perkara usia, tapi perkara arah, niat, dan keberanian untuk terus berjalan, meski pelan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun