Reformasi birokrasi di Indonesia sedang bergerak menuju arah yang semakin strategis. Lebih dari sekadar memangkas prosedur, tetapi juga membangun sistem yang responsif, efisien, dan mampu mengelola risiko pembangunan secara menyeluruh.
Di tengah tantangan era digital dan kompleksitas tata kelola, lahir inovasi seperti SimPATIK 4T (Sistem Perencanaan Anggaran Belanja Teknologi Informasi dan Komunikasi) di Kementerian Kehutanan.
Inovasi ini bukan sekadar alat teknis, melainkan bagian dari transformasi besar menuju birokrasi yang lebih modern dan sejalan dengan kerangka Manajemen Risiko Pembangunan Nasional (MRPN).
Sebelum hadirnya SimPATIK 4T, tata kelola belanja TIK di birokrasi cenderung sarat masalah, seperti tumpang tindih pengadaan, aplikasi yang tidak terintegrasi, dan potensi misalokasi anggaran hingga 20% dari total belanja TIK.
Akibatnya, pelayanan publik terhambat, dan indeks SPBE (Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik) pun belum optimal.
SimPATIK 4T hadir dengan membawa terobosan. Clearance usulan belanja TIK misalnya, yang biasanya memakan waktu 3 s.d 5 hari kini bisa diselesaikan hanya dalam 30 detik hingga 1 menit.
Hasilnya tidak main-main, Yaitu efisiensi besar dengan potensi penghematan hingga Rp180 miliar per tahun dan tambahan PNBP sekitar Rp1,4 triliun per tahun.
Lebih dari sekadar efisiensi, sistem ini memperkuat akuntabilitas dan transparansi, yang menjadi syarat utama dalam reformasi birokrasi dan juga manajemen risiko pembangunan.
MRPN (Manajemen Risiko Pembangunan Nasional) adalah pendekatan strategis pemerintah dalam mengidentifikasi, menganalisis, dan mengendalikan risiko yang dapat menghambat pencapaian tujuan pembangunan. Risiko itu bisa berupa inefisiensi anggaran, ketidakpastian politik, krisis lingkungan, hingga disrupsi teknologi.
Dalam konteks ini, SimPATIK 4T dapat dipandang sebagai praktik nyata MRPN di sektor digitalisasi birokrasi.