Dengan mengintegrasikan sistem clearance belanja TIK, pemerintah tidak hanya meminimalkan risiko pemborosan, tetapi juga mampu mengendalikan risiko fiskal, karena anggaran lebih tepat sasaran dan terhindar dari duplikasi.
Selain itu sistem ini juga mampu mengurangi risiko tata kelola, dengan meningkatkan transparansi dan integrasi lintas unit kerja.
Implikasi lainnya adalah mampu meningkatkan mitigasi risiko strategis, yaitu tata kelola data anggaran TIK yang akurat dan real time untuk pengambilan keputusan.
Arief & Umar (2024) menegaskan bahwa salah satu penghambat besar e-government di Indonesia adalah aplikasi yang tidak fungsional, tumpang tindih antar instansi, dan resistensi birokrasi. SimPATIK 4T justru hadir untuk menutup celah risiko itu: memastikan setiap rupiah anggaran TIK terarah, mengurangi duplikasi, dan meningkatkan fungsi nyata layanan publik.
Lebih dalam, Apleni & Smuts (2020) menekankan pentingnya kerangka implementasi e-government di negara berkembang, dengan faktor kunci seperti dukungan manajemen puncak, strategi jangka panjang, infrastruktur TIK, serta literasi digital.Â
Semua faktor ini tercermin dalam keberhasilan SimPATIK4T yang lahir dari komitmen pimpinan kementerian, didukung regulasi lintas lembaga, dan mengedepankan integrasi.
Kehadiran SimPATIK 4T juga menjawab kritik bahwa reformasi birokrasi sering berhenti pada slogan.
Di sini, reformasi dijalankan melalui kombinasi kepemimpinan digital, penguatan SDM, jejaring lintas lembaga, serta integrasi regulasi. Dukungan pimpinan Kementerian Kehutanan, Bappenas, Kemenkeu, hingga DPR menjadi kunci keberhasilan.
Keunggulan SimPATIK4T adalah sifatnya yang modular, sehingga bisa direplikasi ke tematik lain di lingkup Kementerian Kehutanan. Contohnya pada belanja strategis untuk pengentasan kemiskinan, ketahanan pangan berbasis perhutanan sosial, atau pengarusutamaan gender.
Selain itu sistem ini juga bisa direplikasi oleh lintas kementerian, dan bahkan bisa menjadi salah satu best practice nasional dalam reformasi birokrasi digital berbasis MRPN.
Singkat kata, pemerintah tidak hanya sekadar "mengatur anggaran", melainkan juga mengelola risiko pembangunan secara sistematis dan berkelanjutan.