Mohon tunggu...
Khulfi M Khalwani
Khulfi M Khalwani Mohon Tunggu... Freelancer - Care and Respect ^^

Backpacker dan penggiat wisata alam bebas... Orang yang mencintai hutan dan masyarakatnya... Pemerhati lingkungan hidup... Suporter Timnas Indonesia... ^^

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Urgensi Indikator Ekologi dalam Pengalokasian Dana Transfer ke Daerah

7 Maret 2021   09:13 Diperbarui: 7 Maret 2021   09:30 1335
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Peta Indeks Kualitas Lingkungan Hidup tahun 2020 (sumber: media brefing KLHK)

Untuk pertama kalinya dalam sejarah Survei Persepsi Risiko Global, masalah lingkungan mendominasi risiko jangka panjang teratas berdasarkan kemungkinan di antara anggota komunitas multipihak Forum Ekonomi Dunia. Tiga dari lima risiko teratas berdasarkan dampak investasi juga merupakan isu lingkungan.

 Menurut hasil survey, "kegagalan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim" adalah risiko nomor satu berdasarkan dampak dan risiko nomor dua selama 10 tahun ke depan berdasarkan kemungkinan. "Hilangnya keanekaragaman hayati" sebagai risiko kedua yang paling berdampak dan ketiga paling mungkin untuk dekade berikutnya. Isu-isu ini dinilai memiliki implikasi kritis bagi kemanusiaan, yaitu risiko runtuhnya sistem pangan dan kesehatan hingga terganggunya seluruh rantai pasokan (Forum Ekonomi Dunia, 2020).

Pandemi Covid-19 tahun 2020 telah memberikan dampak negatif bagi pertumbuhan ekonomi, baik nasional maupun global. Berbagai program Pemulihan Ekonomi pada berbagai sektor telah direncanakan secara Nasional untuk mencegah adanya resesi. Namun demikian kita juga tetap perlu waspada dan istikomah dalam upaya memperhatikan lingkungan.

Publikasi Macmillan (2011) dalam www.nature.com/natureclimatechange menunjukkan gambaran peningkatan emisi CO2 global yang diakibatkan dari bahan bakar fosil mencapai 5,9% pada tahun 2010 pasca krisis ekonomi 2008-2009. Peningkatan emisi pasca krisis ekonomi 2008-2009 disebabkan stimulus ekonomi dan investasi untuk pertumbuhan ekonomi secara global juga diarahkan kepada industri-industri yang tinggi karbon.

Dengan memperhatikan tren kemungkinan investasi global kedepan berdasarkan survey persepsi global dan semangat kemudahan investasi di Indonesia melalui terbitnya UU Cipta Kerja maka upaya perhatian terhadap masalah lingkungan, khususnya oleh Pemerintah Daerah menjadi sangat penting seiring upaya peningkatan investasi di berbagai daerah. Layanan yang diberikan oleh Pemerintah Daerah pada urusan lingkungan hidup dan kehutanan, khususnya kegiatan pengawasan adalah bentuk layanan publik yang seperti tidak terlihat langsung, namun dampaknya akan bersifat langsung bagi masyarakat setempat, seiring dampak adanya usaha/kegiatan investasi.

Keberlanjutan lingkungan usaha dan investasi berarti keberlanjutan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja di daerah. Untuk itu perhatian oleh Pemerintah Daerah terhadap pelayanan lingkungan dicerminkan melalui diterapkannya beberapa indikator pembangunan yang berbasis ekologi. Terbitnya PP No. 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan PP No. 23 Tahun 2021 tentang Kehutanan sebagai turunan UU Cipta Kerja telah menegaskan bahwa aspek pengawasan lingkungan hidup dan kehutanan menjadi peran penting dalam upaya pengendalian.

Indeks Kualitas Tutupan Lahan 2020 (sumber: Media briefing KLHK)
Indeks Kualitas Tutupan Lahan 2020 (sumber: Media briefing KLHK)

Secara Nasional, isu lingkungan hidup menjadi Bab penting dalam RPJMN 2020 -- 2024. Berbagai program -- kegiatan dan corrective action untuk meningkatkan Indeks Kualitas Lingkungan Hidup, mengurangi Laju Deforestasi, meningkatkan kinerja pengelolaan sampah dan konservasi SDA telah diformulasikan dalam berbagai skema pendanaan baik oleh APBN maupun Hibah luar negeri.

Berkenaan dengan tren investasi global dan faktor kesiapan Pemerintah Daerah sebagai tapak investasi, maka pemulihan ekonomi nasional pasca Covid-19 perlu dilakukan dengan skema build back better. Untuk itu dalam rangka memperkuat desentralisasi fiskal melalui Transfer ke Daerah dan Dana Desa sudah seharusnya memasukkan indikator berbasis ekologi sebagai saringan dalam penentuan distribusi dan alokasi Dana Transfer.

Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD) terdiri dari Dana Perimbangan, Dana Insentif Daerah (DID), Dana Otonomi Khusus (Otsus), dan Dana Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta serta Dana Desa. Setiap tahun Pemerintah bersama DPR melakukan pembahasan dan penetapan besaran alokasi TKDD per daerah. Secara umum, semua daerah tentu berharap agar alokasi yang akan diterima untuk tahun depan lebih besar dari tahun sebelumnya.

Tujuan penerapan indikator kenerja berbasis ekologi dalam penyaluran TKDD ini sebenarnya sederha, yaitu memberikan motivasi kepada Pemerintah Daerah untuk lebih baik dalam memberikan layanan publik di sektor lingkungan hidup dan kehutanan. Selain itu, tentu juga tetap mengingat prinsip keadilan dalam pemberian insentif bagi Daerah. Daerah yang mengalami kenaikan alokasi TKDD baik dalam segi jumlah dan persentase, tentunya akan merasa senang karena akan memiliki anggaran lebih banyak untuk dapat dibelanjakan untuk pelayanan kepada masyarakatnya.

Indikator berbasis ekologi untuk saringan penyaluran TKDD dapat berupa Indeks Kualitas Lingkungan Hidup Daerah, Laju Deforestasi, Konservasi Keanekaragaman Hayati, Indeks Kinerja Pengelolaan Sampah, dan atau indikator lain yang datanya tersedia secara berkesinambungan.

Indikator SDGs 15.1.1. Penutupan Hutan Indonesia 2020 (sumber : PKTL-KLHK)
Indikator SDGs 15.1.1. Penutupan Hutan Indonesia 2020 (sumber : PKTL-KLHK)

Mengutip informasi pada website Kementerian Keuangan, selama ini penentuan alokasi TKDD yang akan diterima oleh setiap daerah ditentukan oleh 3 hal sebagai berikut:

  1. Berdasarkan Formula (By Formula); Sebagian besar pengalokasian TKDD dilakukan berdasarkan formula. Untuk mendukung hal tersebut, diperlukan data dasar sebagai sumber/input untuk dilakukan perhitungan alokasi. Daerah tidak bisa melakukan pengurusan/lobi untuk menaikan jumlah alokasi yang akan diterimanya. Daerah hanya bisa memastikan bahwa data yang ada sudah benar dan valid. Oleh sebab itu, diperlukan rekonsiliasi data khususnya dengan Badan Pusat Statistik (BPS) di daerah masing-masing, karena data yang biasa digunakan dalam perhitungan berasal dari lembaga resmi yang ditunjuk pemerintah dalam mengeluarkan data. Jenis alokasi TKDD yang menggunakan formula antara lain: Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK) kecuali yang berdasarkan usulan/proposal, Dana Desa.
  2. Berdasarkan Daerah Penghasil (By Origin); Daerah yang telah diberikan oleh Tuhan kekayaan alam berupa sumber daya alam maka daerah tersebut akan mendapatkan kembali dalam bentuk bagi hasil apabila ada penerimaan negaranya. Dana Bagi Hasil (DBH) diberikan kembali ke daerah penghasil dalam rangka mengatasi ketimpangan vertical (vertical imbalance) karena daerah penghasil mendapatkan eksternalitas sebagai dampak dari eksploitasi sumber daya alam tersebut. Daerah yang tidak memiliki sumber daya alam akan diberikan oleh pemerintah dalam bentuk DAU yang mana berfungsi sebagai horizontal imbalance.
  3. Berdasarkan Kinerja (By Performance); TKDD yang alokasinya ke daerah berdasarkan performance atau kinerja adalah Dana Insentif Daerah (DID). Setiap daerah memiliki kesempatan yang sama dan berupaya untuk mendapatkan insentif ini sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan. Daerah dengan kinerja yang baik, salah satunya terkait pengelolaan keuangannya maka akan mendapatkan insentif dalam bentuk alokasi dana, sebaliknya daerah yang kinerja kurang baik maka tidak akan mendapatkannya.

Selain ketiga hal tersebut diatas, ada beberapa daerah yang menerima alokasi TKDD karena adanya peraturan perundang-undangan yang mengamanatkannya. Dana Otonomi Khusus (Dana Otsus) Provinsi Aceh sebagai amanat dari UU 11 Tahun 2006 serta Provinsi Papua dan Papua Barat sebagai amanat dari UU 21 Tahun 2001 serta Dana Keistimewaan (Dais) diberikan kepada Provinsi D.I. Yogyakarta berdasarkan UU 13 Tahun 2012. Hal-hal tersebut diatas yang dapat menentukan besar kecilnya alokasi TKDD yang akan diterima oleh daerah. 

Beberapa kejadian bencana ekohidrologis didaerah adalah pertanda alam agar kita lebih peduli dan perhatian pada lingkungan.  Nilai penting indikator ekologi di daerah juga terkait dengan aspek sosial dan ekonomi masyarakat. 

Mengingat resiko bencana sebagai dampak perubahan iklim telah menjadi perhatian forum ekonomi global, maka sudah saatnya indikator kinerja berbasis ekologi juga menyentuh ruang alokasi penganggaran dalam Pemerintah. Hal ini sejalan dengan prinsip Sustainable Development Goals, dimana pilar lingkungan, pilar sosial, pilar ekonomi dan pilar tatakelola dapat bersinegi.

Tulisan oleh : Khulfi M. Khalwani,S.Hut.,M.Si

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun