Menanggapi berbagai isu dan atau permasalahan kehutanan yang mencuat, maka diperlukan langkah kolektif yang konkret untuk menempatkan posisi persoalan kerangka pikir dan stagnasi berpikir dalam proses pembaruan kebijakan kehutanan sebagai kepedulian kolektif untuk kemudian dipecahkan secara kolektif pula terutama dalam memecah hegemoni proses konstruksi kebijakan. Membangun jaringan aktor dan menata mekanismenya menjadi prioritas yang perlu disegerakan, sebelum menyelesaikan hal lainnya berupa peran pengetahuan dan ilmuwan dalam proses kebijakan, kepentingan politik, dan partisipasi publik. Konkretnya, pemerintah perlu memfasilitasi prosesnya secara inklusif, terbuka, dan partisipatif. Untuk itu, pemerintah dituntut untuk memperkecil atau bahkan meniadakan sifat dominan dan hegemoninya dalam proses penyusunan kebijakan, seperti kecenderungannya selama ini.[5]5
Isu kebijakan (policy issues) sering disebut juga sebagai masalah kebijakan (policy problem). Bagaimanapun bentuknya, Policy issues biasanya muncul karena telah terjadi silang pendapat di antara para aktor mengenai arah tindakan yang telah atau akan ditempuh, atau pertentangan pandangan mengenai karakter permasalahan tersebut. Sebelum kebijakan baru ditetapkan dan dilaksanakan, pembuat kebijakan perlu menyusun agenda dengan memasukkan dan memilih masalah-masalah mana saja yang akan dijadikan prioritas untuk dibahas. Masalah-masalah yang terkait dengan kebijakan kehutanan akan dikumpulkan sebanyak mungkin untuk diseleksi. Dalam proses inilah muncul ruang untuk memaknai apa yang disebut sebagai masalah publik dan prioritas dalam agenda publik dipertarungkan.[6]
Hutan Indonesia memberikan ruang dalam mendukung target pembangunan insfrastrutur. Disisi lain hutan juga memberikan berbagai manfaat yang dapat dirasakan pada tingkatan lokal, nasional, maupun global. Manfaat tersebut terdiri atas produk yang terukur (tangible) berupa hasil hutan kayu, hasil hutan non kayu seperti rotan, getah, minyak atsiri, bahan baku obat dan lain-lain; serta manfaat tidak terukur (intangible) berupa manfaat perlindungan lingkungan (siklus air, siklus hara, pencegahan banjir dan erosi), keanekaragaman genetik, cadangan karbon, manfaat sosial budaya, estetika alam dan lain-lain. Saat ini berbagai manfaat yang dihasilkan tersebut masih dinilai secara rendah sehingga menimbulkan terjadinya eksploitasi SDH yang berlebih.
Perubahan UU 41 tentang Kehutanan merupakan hal yang wajar. Proses tersebut haruslah berupa resultante dari pertimbangan-pertimbangan yang berlandaskan kepada teori-teori dalam ilmu pengetahuan yang bersifat universal namun juga tetap memperhatikan pengetahuan nilai-nilai dan kearifan lokal masyarakat. Yang tidak kalah pentingnya ialah, semuanya harus berlandaskan pada nurani dan rasa cinta terhadap hutan Indonesia dan masyarakatnya.
[4] Penjelasan umum UU 41 tetang Kehutanan (paragraf 4)