Mohon tunggu...
Teopilus Tarigan
Teopilus Tarigan Mohon Tunggu... ASN - Pegawai Negeri Sipil

Pro Deo et Patria

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Jadi Manusia Jangan Jumawa

9 Januari 2020   23:06 Diperbarui: 10 Januari 2020   01:14 165
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
http://www.myjewishlearning.com/wp-content/uploads/2015/04/jeremiah-1.jpg

Keterangan foto : lukisan Nabi Yeremia "The Crying Prophet" oleh Michael Angelo. Ia adalah seorang nabi yang memilih hidup melajang sepanjang hayatnya, karena melalui tindak ke-nabian-nya, ia ingin menyatakan bahwa masa depan bangsa Yehuda seperti tanpa harapan. Tidak ada gunanya lagi membangun keluarga di tengah-tengah bangsa yang menyimpang dari jalan Tuhan. Bangsa Yehuda digambarkan sebagai bangsa yang tidak memiliki harapan lagi.

Tuan Wiranto adalah seorang pensiunan tentara yang pernah menjadi duta besar dan kini menjadi komisaris di sebuah badan usaha milik negara. Hidup masa lalu yang serba susah membuatnya menjadi seorang suami dan ayah yang sangat gigih, tekun dan cermat dalam setiap pekerjaannya. Sebagai seorang manusia dari masa lalu, dia tidaklah kolot, bisa dibilang dia adalah sosok masa lalu yang melampaui zamannya. Oleh sebab itu, Tuan Wiranto sering diprotes oleh istrinya, karena dianggap sangat memanjakan Neti, anak perempuan mereka, seorang sarjana antropologi, yang lebih suka membaur ke kampung kumuh berada di antara orang-orang miskin dan rentan penyakit.

Tuan Wiranto dirasakan Neti sebagai yang paling bisa memahami diri dan pilihannya di dalam kelaurga. Oleh anggota keluarga lainnya, selain oleh ibunya tentu saja, juga oleh kakaknya, Anggi yang selalu percaya diri tapi juga ambisius, Wibowo yang seorang ahli fisika nuklir yang merasa sudah melampaui Indonesia dan membenci adat istiadat yang serba ribet, dan Chandra yang seorang tentara penerbang serba praktis dan taktis, justru memandang Neti sebagai sosok yang melampaui manusia, alias tidak normal. Tentu saja tidak demikian dengan ayahnya.

Neti dengan body yang sexy, paras rupawan, pintar, berpendidikan tinggi, tapi sedikitpun tidak menunjukkan sisi feminin, sisi anggun, layaknya perempuan yang sudah menginjak dewasa, bahkan harusnya siap menikah. Tidak, Neti bahkan sempat bercanda kepada keluarganya, mungkin ia akan lebih memilih menjadi sosiawati yang siap untuk tidak menikah demi membaktikan dirinya untuk membantu  dan hidup di antara orang-orang lemah yang miskin dan bodoh.

Neti suka menyampaikan pendapatnya ini terutama di hadapan ibunya, yang menurutnya meskipun selalu tampil anggun dan keibuan, tapi oleh Neti diledek sebagai nyonya yang anggun tapi kurang selera humor. Tentu saja ibu Neti yang sangat memegang teguh tradisi ke-Timur-an, yang meyakini bahwa hidup yang normal bagi manusia adalah tumbuh, sekolah, dewasa, memiliki pekerjaan, menikah dan punya anak-anak, merasa khawatir dengan Neti anaknya yang melampaui manusia.

Kisah di atas adalah sekelumit gambaran singkat dalam keluarga Tuan Wiranto yang dikisahkan dalam novel Burung-Burung Rantau, karya Romo Y.B. Mangunwijaya. Jelas, Neti, adalah sosok yang menggambarkan semangat kebebasan, dan bahkan bisa dipandang sebagai suatu sikap yang memberontak.

Mengutip pendapat Imanuel Kant yang ditulistangankan kembali oleh Ahok alias BTP pada selembar kertas dari buku tulis bergaris, bahwa kebebasan bukan berarti "bebas melakukan apa saja yang bisa saya lakukan", melainkan "bebas untuk tidak melakukan apa saja yang bisa saya lakukan". Pendapat ini akan bermakna positif apabila kebebasan untuk tidak melakukan apa saja yang bisa dilakukakan itu bertujuan untuk tidak melakukan hal-hal yang buruk dan negatif. Atau tidak melakukan sesuatu sekalipun sebenarnya ia mampu karena itu lebih berguna bagi kebaikan bersama. Kebaikan itu bisa saja bagi orang banyak atau kebaikan orang lain, di luar dirinya.

Misalnya, seseorang yang sebenarnya berkuasa tapi ia mampu membatasi kekuasaannya bahkan mengurangi kenyamanan dirinya sendiri, dengan segudang fasilitas dan kemudahan yang sebenarnya berhak ia terima, tapi lebih ia manfaatkan bagi kepentingan orang banyak. Atau seorang pegawai yang rela meninggalkan kenyamanan, meskipun tidak ada yang menyadari atau melihatnya sebagai pencari kenyamanan, karena ia sadar itu menyalahi peraturan.

Atau seseorang yang menahan diri untuk tidak bersuara, meskipun tidak akan ada yang mampu membungkamnya apabila ia menjerit karena jeritannya adalah kebenaran. Atau seseorang yang lebih memilih merendahkan dirinya, meskipun sebenarnya ia mampu untuk pamer, sehingga dengan begitu orang yang rendah sekalipun akan tetap memiliki kesempatan untuk terlihat. Atau juga, seseorang yang rela tampak bodoh, sehingga dengan begitu orang lain bisa merasakan bahwa dirinya tidak bodoh, dan contoh-contoh kebebasan untuk bertindak tampak tidak bebas lainnya.

Bahkan untuk seseorang yang diakui sebagai yang paling berintegritas sekalipun, sikap yang tidak mensyukuri keberadaan seseorang atau sesuatu, karena berpikir bahwa orang ini dan orang itu atau sesuatu ini dan sesuatu itu, akan selalu ada bisa saja akan mengkoreksi dirinya sendiri yang juga bisa salah. Maka, benarlah kalimat yang pernah diucapkan oleh Paus Fransiskus, bahwa setiap orang punya sisi baik dan sisi buruk dalam dirinya. Hari ini kita menjadi peziarah, tapi besok bisa saja kita menjadi penyamun, atau sebaliknya. Jadi manusia jangan jumawa, menganggap diri lebih baik dari yang lain.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun