Mohon tunggu...
Teopilus Tarigan
Teopilus Tarigan Mohon Tunggu... ASN - Pegawai Negeri Sipil

Pro Deo et Patria

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Artikel Utama FEATURED

Makna Natal yang Melampaui Cinta Barsoom dan Jasoom

25 Desember 2019   20:19 Diperbarui: 25 Desember 2020   08:57 3273
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dekorasi Lilin dan Pohon Natal di altar gereja (Foto Dokumentasi GBKP Simpang VI Kabanjahe)

Tidak sedikit orang yang merasakan kehampaan dalam perayaan natal. Ibadah dan perayaan yang akan selalu berulang setiap tahun ini bahkan ada yang sudah merasakannya sebagai beban. Terlalu banyak hal yang prosedural dan seremonial, banyak biaya yang dibutuhkan, sehingga pada masa ini semua orang akan tampak menjadi malaikat yang menyilaukan dengan segala perlengkapannya yang kosmetis.

Bila demikian halnya, maka bisa jadi semakin banyak perayaan natal hanya akan menumpuk semakin banyak kehampaan bagi sebagian. Mengapa demikian? Memang akan tetap ada jenis golongan manusia yang menikmati hal seperti apa pun. 

Bukankah dunia menjadi kacau, sehingga juru selamat perlu datang mendamaikannya, adalah karena untuk setiap pilihan selalu saja ada pendukungnya, entah itu benar atau tidak? Di sana, di Jasoom dan Barsoom mungkin, bukan lagi soal benar atau tidak yang menentukan suatu pilihan, melainkan apakah aku menyukai yang ini atau yang itu. Itu saja.

Juru selamat yang adalah Gembala yang Baik itu, tidak menginginkan satu pun dombanya tersesat. Bila satu saja tersesat, Ia akan memberikan perhatian khusus padanya untuk mencari yang satu itu sampai dapat. Bahkan bila perlu meninggalkan yang sembilan puluh sembilan lainnya yang sudah aman di kawanan.

Bila melihat lebih luas dalam konteks Indonesia pun, tidak kurang persatuan Indonesia masih saja bergulat dengan isu nasionalisme dan keberagaman. Sehingga menjadi benarlah yang disampaikan oleh Muhammad Hatta, bahwa untuk menjadi Indonesia, yang disebut oleh Sukarno sebagai Taman Sari Peradaban Dunia, haruslah kita mempunyai keluasan mental dan keluasan kerohanian seluas wilayah Indonesia. Tidak lain karena Indonesia adalah taman sari peradaban dengan begitu banyak keberagaman.

Menyadari hal itu, untuk menyerukan keprihatinannya, maka Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) dan Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) mengusung tema bersama Natal Tahun 2019 "Hiduplah sebagai Sahabat bagi Semua Orang" (Yoh 15: 14-15). Tema ini sangat relevan untuk merefleksikan esensi cinta kasih dalam semangat natal di tengah tantangan isu nasionalisme dan keberagaman kita.

Kegagalan mewujudkan esensi cinta kasih natal yang lebih tampak menjadi sekadar ritual seremonial, hanya akan membawa kehampaan yang terjadi berulang-ulang setiap tahunnya bagi mereka yang merayakannya. Bila demikian halnya, maka sudah bisa kita duga-duga, apa lagi yang mungkin akan dirasakan oleh mereka yang tidak merayakannya?

Seperti kata Pendeta AA. Yewanggoe, mantan Ketua Umum PGI dan saat ini merupakan salah seorang anggota dalam Badan Pengarah Ideologi Pancasila, bahwa soal ucap mengucapkan selamat natal ini bukanlah sebuah hal yang perlu diatur-atur, semua orang dari segala kalangan harusnya sudah cukup dewasa untuk memilih mengucapkan atau tidak mengucapkannya.

Hal yang esensial lainnya dalam hal ini bukanlah soal partisipasi dan boleh tidaknya hal ucap mengucap soal natal, tapi sudahkah kedewasaan untuk memilih ikut mengucapkan atau tidak itu diikuti oleh kedewasaan manusia Indonesia, yang adalah Taman Sari Peradaban Dunia dengan segala keberagamannya, mampu memberikan ruang dan waktu bagi mereka yang ber-Natal di taman sari peradaban dunia itu untuk merayakannya?

Bila kita tidak dewasa memilih hal yang esensi, maka bisa kita bayangkan, kata kunci filsafat romantisme akan membawa kita kepada sebuah kesimpulan berdasarkan hal-hal yang kita sukai, dari manakah kita ini berasal? 

Di saat kita seharusnya merasa dan memang demikian kenyataannya, bahwa "kau saudaraku dan kau sahabatku, tiada yang dapat memisahkan kita", tapi ada yang merasakan tidak demikian halnya, maka janganlah kiranya Indonesia dikenali dari apa yang kita sukai saat ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun