Mohon tunggu...
Teopilus Tarigan
Teopilus Tarigan Mohon Tunggu... ASN - Pegawai Negeri Sipil

Pro Deo et Patria

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Pak Ari dalam Untaian Mata Rantai Daur Ulang Materialisme Ekologis

18 Juni 2019   01:38 Diperbarui: 19 Juni 2019   15:37 218
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pak Ari dan Barang-Barang Bekas (dokpri)

Saya tidak terlalu jauh soal itu, karena melihatnya sibuk mengemasi barang-barang bekas dari besi-besi dan kawat beton itu saja sudah membuat saya khawatir kalau-kalau jari-jarinya akan tersayat oleh benda-benda yang kurang ramah kesehatan itu. Kalau jarinya tersayat, bebannya pada hari itu bisa bertambah berat.

Anak satu-satunya yang bernama Ari, membuat si bapak ini dipanggil Pak Ari. Itu adalah sebuah cara penamaan atau panggilan umum di kampung ini. Seorang pria yang menikah dipanggil dengan nama panggilan singkat anaknya yang tertua.

Pak Ari telah tinggal di Kabanjahe sejak tahun 1987. Ia berasal dari Stabat, ibu kota Kabupaten Langkat, Sumatera Utara. Orang tuanya masih tinggal di sana.

Istri pak Ari tinggal di rumah, mengurus semua urusan pekerjaan rumah. Alamatnya di Gang Madu Kabanjahe. Ini adalah sebuah lingkungan pemukiman yang banyak dihuni oleh penduduk dari etnis suku Jawa, baik yang bermigrasi ke sini maupun yang memang sudah lahir dan besar di sini. Dari anak satu-satunya yang bernama Ari, ia sudah mendapatkan seorang cucu. Anak dan cucunya sekeluarga tinggal di kota Stabat.

Untuk menafkahi keluarganya, Pak Ari bekerja sebagai pengumpul barang-barang bekas. Di sini barang-barang bekas lebih dikenal dengan istilah "botot." Barangkali, itu adalah sebuah istilah yang telah mengalami mutasi kontekstual dalam lingkup lokal dari kata baku "butut." Ia sudah menekuni pekerjaan ini lebih dari 10 tahun. Sebelumnya ia bekerja sebagai seorang pekerja kuli bangunan. Tukang, adalah istilah lebih halusnya.

Sebagai pengumpul barang bekas, pak Ari sehari-harinya bisa mendapatkan uang masuk dari kisaran 100.000 hingga 200.000 rupiah perhari. Bahkan sesekali, katanya, bila ada pengusaha atau pedagang yang sedang "cuci gudang" dan membuang barang-barang bekasnya, ia bisa mendapatkan hingga satu juta rupiah dalam sehari. Istilah pak Ari, "Itu kalau sedang ada lelang."

Kalau beberapa tahun yang lalu, saat anaknya belum menikah, ia bisa mengumpulkan barang-barang bekas hingga keliling ke kampung-kampung yang jauh dari Kabanjahe. "Kadang aku sampai ke Tiganderket, atau ke Kutarayat," kata pak Ari.

Itu adalah desa-desa yang ada di sekitar Gunung Sinabung, yang sampai sekarang sering mengalami erupsi. Hingga tiga desa di sekitar kaki gunung, yakni Desa Bekerah, Desa Simacem dan Sukameriah telah direlokasi permanen dari situ. Desa-desa yang dia sebutkan kira-kira bisa berjarak 16 hingga 20 kilo meter dari Kabanjahe.

"Tapi sekarang aku hanya mengumpuli barang-barang bekas di sekitar Kabanjahe bang, aku sudah santai, tidak ada lagi tanggunganku," katanya.

Sebagai pengumpul barang bekas, pak Ari akan menjual barang-barang "botot" yang dia kumpulkan ke "depot botot." Itu adalah semacam pengepul yang lebih besar, barangkali cocok disebut sebagai agen.

Pak Ari menjelaskan, sebagai pengepul di rantai terbawah bisnis botot ini, mengacu pada harga pasar, maka untuk barang bekas dari bahan besi atau baja ringan dihargai 1.500 per kilo, sedangkan kawat-kawat beton seharga 1.000 per kilo.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun