Setelah mendapat dukungan dana bagi pembangunannya, GBKP melalui Parpem (singkatan Partisipasi Pembangunan, sebuah departemen di GBKP yang bergerak dalam bidang pembangunan dan pemberdayaan masyarakat) membangun gedung panti perawatan dan pendidikan bagi penyandang disabilitas itu secara swakelola. Parpem GBKP pada masa itu diawaki oleh almarhum Pdt. Borong Tarigan, STh dan almarhum Pdt. Selamat Barus, STh.
Sementara itu, Pdt. Salomo Sitepu, STh  bertugas menjajaki anak-anak berkebutuhan khusus yang ada di Kabupaten Karo. Dari hasil pendataan tersebut, sebagian besar penyandang disabilitas yang dilaporkan adalah cacat mental dan bisu tuli.Â
Akhirnya, setelah melihat hasil pendataan tersebut, GBKP memutuskan membuka pelayanan untuk orang-orang cacat mental dan bisu tuli. Keputusan ini diwujudkan dalam pendirian sebuah yayasan bernama Alpha Omega dengan akte notaris, dimana sebagai pendiri adalah Pdt. DR. A. Ginting Suka, Pdt. E. P. Gintings, STh, dan Pdt. Salomo Sitepu, STh, pada tanggal 21 Juli 1988.
Setalah yayasan berdiri, ada dua kesulitan yang dihadapi, yakni pengadaan guru dan biaya operasional. Untuk mengatasi masalah ini, Pdt. Salomo Sitepu diberikan tugas mencari guru-guru untuk sekolah luar biasa dan Pdt. DR. A. Ginting Suka mencari dukungan dana dari gereja-gereja Jerman dan Belanda.
Gereja Swiffterbant Belanda memberikan respons yang positif dan segera melakukan pengumpulan dana. Begitu juga gereja Jerman yang tergabung dalam United Evanglical Mission dimintakan agar membantu mencari tenaga guru bagi penyandang disabilitas untuk bekerja di yayasan ini. Adalah Almuth Grothaus, anak dari Pdt. Warner Grothaus (yang juga pernah melayani di GBKP) baru menamatkan pendidikan dalam bidang pendidikan anak cacat, sangat mendukung dan menyetujui rencana ini.
Dalam perkembangan selanjutnya, yayasan ini secara terus menerus mencari dukungan dari pemerintah dan masyarakat secara umum. Tamu-tamu GBKP sering dibawa berkunjung ke Alpha Omega untuk melihat kiprah pelayanannya, juga kebutuhan dan rencana pelayanannya kedepan. Kepada jemaat juga dilakukan sosialisasi secara reguler agar lebih mengenali pelayanan Alpha Omega, berikut kebutuhan dan tantangan dalam pengelolaannya.
Pola pelayanan yayasan ini dilakukan pertama-tama dengan mengikutsertakan semua orang tua/ keluarga yang anak atau anggota keluarganya ikut dilayani di Alpha Omega sebagai keluarga besar yayasan. Kedua, pelayanan terhadap penyandang cacat tidak hanya terbatas di dalam panti asuhan dan gedung pendidikan, tetapi juga menjemput bola dengan mencari anak-anak berkebutuhan khusus yang ada di desa-desa, yang cenderung diabaikan, bahkan "disembunyikan," agar lebih mendapat perhatian dan kasih sayang.
Alpha Omega Kini
Hari ini, saat mengunjungi salah seorang sanak saudara yang bekerja di dapur asrama Alpha Omega di Juma Lingga, saya mendapatkan informasi bahwa saat ini anak berkebutuhan khusus yang sedang dirawat di Alpha Omega Juma Lingga ada sebanyak 78 jiwa. Pengasuh dan yang mengurus kebutuhan mereka ada sebanyak 28 orang. Mereka bertugas dengan sistem shift, sudah termasuk yang memasak di dapur 1 orang, dan yang mengurus peternakan 1 orang. Pengasuh yang tinggal di lingkungan asrama ada 5 orang, sedangkan sisanya pulang pergi dari asrama ke rumah mereka masing-masing di desa yang ada di sekitar lingkungan asrama.
Dari Saudara yang bertugas di dapur, saya diberitahu bahwa untuk sekali makan bagi seluruh penghuni asrama itu, mereka membutuhkan 13 kg beras untuk sekali masak. Saya tidak menanyakan berbagai kebutuhan lainnya karena saat itu sudah menjelang jam makan siang.