Mohon tunggu...
Teopilus Tarigan
Teopilus Tarigan Mohon Tunggu... Pegawai Negeri Sipil

Pro Deo et Patria

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Bahaya Sampah Plastik dan Adegan Kontemporer Realisme Sosial

7 Mei 2019   17:27 Diperbarui: 8 Mei 2019   12:17 378
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Paus Sperma hamil ditemukan mati di Italia menelan 22 kg sampah plastik (Kompas.com)

Dalam buku Aliran-Aliran Sastra dalam Perspektif Teori Sastra karya Kinayati Djojosuroto, diceritakan bahwa setelah kongres pertama himpunan penulis dan sastrawan Soviet di Moskow pada tahun 1934, diletakkan 4 aturan dasar realisme sosial. Salah satu dari dasar itu adalah ia bersifat tipikal, menggambarkan adegan-adegan kehidupan rakyat sehari-hari.

Selanjutnya, Fokkema DW dan Elrud Kunne-Ilsch dalam buku "Teori Sastra Abad Keduapuluh" merumuskan 3 dasar pokok kriteria konkret realisme sosial. Salah satunya adalah kriteria penafsiran determinisme ekonomi, yang menyangkut pertanyaan apakah karya sastra menggambarkan perkembangan-perkembangan lebih maju atau lebih mundur berdasarkan ekonomi.

Sementara itu, terkait penyajian realisme sosial yang berisi adegan-adegan kehidupan rakyat sehari-hari, oleh Balzac dan Flaubert, keduanya dari Prancis, oleh Dostoyevsky dan Tolstoy, keduanya dari Rusia, serta oleh Dickens dari Inggris, pada zamannya mereka menyajikan realisme sosial melalui novel-novel sejarah. Sedangkan, Ibsen yang berasal dari Norwegia menyajikannya melalui drama.

Para realis zaman kini telah banyak juga menyajikan realisme sosial melalui adegan video klip. Mungkin ini adalah jawaban sederhana mengapa manusia saat ini lebih suka kepada semua yang serba instan, serba cepat. Lebih mudah memahami hal yang terlihat dari pada hal yang masih memerlukan perenungan dan pemikiran. Kini atau mungkin juga nanti, merenung dan berpikir mungkin akan dipandang sebagai sesuatu yang membuang-buang waktu.

Namun, tentu saja ada risiko yang mengiringi semua kecenderungan pilihan. Sesuatu yang mudah dan sederhana seringkali juga dangkal, bahkan berbahaya. Apakah kita kini lebih cenderung serba cepat dan mudah, tapi dangkal sekaligus pongah?

Mungkin ada salah satu hal yang masih tetap sama, bahwa realisme sosial selalu tampil menyajikan kenyataan di masyarakat apa adanya, tanpa prasangka, dan tanpa usaha untuk memperindahnya. Ia adalah sarana untuk mengkritik dan menyampaikan pesan moral. Sebagaimana tulisan Dr. Edward Douwes Decker atau Multatuli, di dalam Max Havelaar, bahwa tugas manusia adalah menjadi manusia, memanusiakan manusia.

Salah satu adegan kehidupan rakyat sehari-hari yang terjadi hingga kini, setidaknya di negeri ini adalah soal perilaku hidup menyampah. Perilaku suka membuang sampah sembarangan, membuang sampah-sampah plastik.

Foto yang diunggah Fianisa Tiara Pradani dengan akun twitter @selfeeani pada tanggal 7 April 2019, menampilkan bungkus Indomie berusia 19 tahun, diketahui dari petunjuk keterangan tulisan 55 Tahun Dirgahayu Indonesiaku pada bungkus plastiknya.
Foto yang diunggah Fianisa Tiara Pradani dengan akun twitter @selfeeani pada tanggal 7 April 2019, menampilkan bungkus Indomie berusia 19 tahun, diketahui dari petunjuk keterangan tulisan 55 Tahun Dirgahayu Indonesiaku pada bungkus plastiknya.
Pada suatu ketika di tahun 2012, saat hendak menyusun rancangan induk pengelolaan persampahan di daerah ini, seorang konsultan lingkungan mengatakan bahwa Jepang membutuhkan waktu 30 tahun untuk membangun mental warganya hanya untuk sekadar mampu tidak membuang sampah sembarangan alias membuang sampah pada tempatnya. 

Kalau Jepang saja dengan peradabannya yang menerapkan disiplin ketat itu butuh 30 tahun untuk berubah, maka bisa dibayangkan apalagi yang akan kita punya nanti bila masih harus menunggu 30 tahun lagi baru bisa sanggup untuk sekadar membuang sampah pada tempatnya.

Kalau di negara-negara yang sudah lebih maju dalam pengelolaan sampahnya, masyarakatnya sudah mengkapitalisasi sebanyak mungkin potensi untuk menjadi lebih kompetitif, sebagian besar kita di sini masih tersandera pola pikir yang sempit akibat kebutuhan aktualisasi diri yang terdistraksi. 

Bila Maslow, menempatkan kebutuhan akan aktualisasi diri pada puncak piramida kebutuhan, kita di sini yang mungkin belum sampai mencukupi kebutuhan dasar, tapi terlanjur dituntut atau menuntut untuk cepat mengaktualisasikan diri.

Maka menjadi tidak mengherankan bila kita selalu merasa ketinggalan dalam perlombaan antar bangsa. Bagaimana kita bisa mengimpikan hal-hal yang besar saat hal-hal kecil dalam adegan-adegan kehidupan kita sehari-hari seakan tidak pernah mampu kita tuntaskan. Kita suka sekali meminta bungkusan plastik saat berbelanja sekalipun belanjaan kita cukup dimasukkan ke kantong baju kita, atau masih bisa dimasukkan ke dalam tas kita, atau bahkan cukup untuk dibawa dengan menggenggamnya dengan kedua tangan kita. Seringkali juga, sadar atau tidak, kita masih tetap meminta sedotan plastik saat memesan minuman, padahal tidak ada susahnya walaupun minum langsung dari gelasnya.

Dalam pemberitaan Kompas.com edisi 19 Agustus 2018, Menteri Kelautan dan Perikanan menyampaikan bahwa Indonesia adalah penyumbang sampah plastik terbesar kedua di dunia, setelah China. Hal ini berdasarkan data asosiasi Industri Plastik Indonesia (INAPLAS) dan Badan Pusat Statistik (BPS) yang menemukan sampah plastik di Indonesia ada 64 juta ton per tahun dan 3,2 juta ton di antaranya adalah sampah plastik yang dibuang ke laut. 

Sementara itu sampah kantong plastik yang dibuang ke lingkungan adalah 10 miliar lembar per tahun, atau sekitar 85.000 ton. Sebuah laporan dari Ocean Conservancy pada tahun 2017 menyatakan bahwa Cina, Indonesia, Filipina Thailand dan Vietnam telah membuang lebih banyak plastik ke laut daripada gabungan sampah plastik negara lainnya di seluruh dunia.

Paus Sperma hamil ditemukan mati di Italia menelan 22 kg sampah plastik (Kompas.com)
Paus Sperma hamil ditemukan mati di Italia menelan 22 kg sampah plastik (Kompas.com)
Menurut menteri Susi, sampah plastik yang dibuang kelaut ini dapat terbelah menjadi partikel-partikel yang kecil dan sangat rentan dikonsumsi oleh hewan-hewan laut. Maka kita banyak menemukan pemberitaan mengenai kematian hewan-hewan laut yang mengenaskan karena plastik. Misalnya, pada Senin, 19 November 2018, ditemukan seekor paus sperma sepanjang 9,5 meter yang mati di Wakatobi, menelan sampah plastik seberat 5,9 kg (Kompas.com, edisi 20 November 2018). 

Pada Jumat, 15 Maret 2019, ditemukan paus paruh angsa yang mati di Filipina, menelan 40 kg plastik (Kompas.com, edisi 18 Maret 2019). Pada Senin, 1 April 2019, ditemukan paus sperma yang mati di Italia, menelan 22 kg plastik (Kompas.com edisi 2 April 2019).

Adegan kontemporer plastisisme yang masih tetap kita perankan apa adanya, dan seolah tanpa ada usaha untuk menyadari bahayanya, adalah realisme sosial yang tipikal dan menunjukkan perkembangan lebih mundur kesadaran kita sebagai manusia, sekalipun mungkin bahan-bahan plastik telah menyokong perkembangan lebih maju ekonomi kita. 

Kita bisa saja mengklaim diri sebagai manusia yang telah berusaha memanusiakan manusia, tapi sadar atau tidak kita telah membunuh kehidupan makhluk lain. 

Sebagian paus-paus yang ditemukan mati dan menelan plastik itu barangkali sedang mengandung kehidupan di dalam rahimnya, bayi-bayi paus yang mati karena berhimpitan dengan plastik. Kematian akibat ulah manusia yang berlomba mengaktualisasikan diri dengan mementingkan kehidupannya sendiri.

Mengajari anak-anak membuang sampah pada tempatnya (Dokumentasi pribadi)
Mengajari anak-anak membuang sampah pada tempatnya (Dokumentasi pribadi)
Suatu sore sebelum pulang dari taman di kota ini, saya mengajak anak-anak untuk memungut sebisa mereka sampah-sampah yang ditinggal pergi para pemiliknya seenaknya tanpa tanggung jawab. Anak-anak perlu diajari tanggung jawab tentang pentingnya membuang sampah pada tempatnya, agar mereka tahu, seperti apa keadaan yang dihadapi para petugas kebersihan yang setiap hari yang harus memunguti sampah yang dibuang sembarangan.

Mari, merubah diri dari hal-hal kecil. Kurangi pemakaian kemasan plastik dalam kehidupan sehari-hari, demi kelangsungan dan keutuhan hidup seluruh makhluk ciptaan. Merubah mental adalah kebutuhan mendesak, silakan mau disebut apa kalau tidak suka dengan kata revolusi.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun