Maka menjadi tidak mengherankan bila kita selalu merasa ketinggalan dalam perlombaan antar bangsa. Bagaimana kita bisa mengimpikan hal-hal yang besar saat hal-hal kecil dalam adegan-adegan kehidupan kita sehari-hari seakan tidak pernah mampu kita tuntaskan. Kita suka sekali meminta bungkusan plastik saat berbelanja sekalipun belanjaan kita cukup dimasukkan ke kantong baju kita, atau masih bisa dimasukkan ke dalam tas kita, atau bahkan cukup untuk dibawa dengan menggenggamnya dengan kedua tangan kita. Seringkali juga, sadar atau tidak, kita masih tetap meminta sedotan plastik saat memesan minuman, padahal tidak ada susahnya walaupun minum langsung dari gelasnya.
Dalam pemberitaan Kompas.com edisi 19 Agustus 2018, Menteri Kelautan dan Perikanan menyampaikan bahwa Indonesia adalah penyumbang sampah plastik terbesar kedua di dunia, setelah China. Hal ini berdasarkan data asosiasi Industri Plastik Indonesia (INAPLAS) dan Badan Pusat Statistik (BPS) yang menemukan sampah plastik di Indonesia ada 64 juta ton per tahun dan 3,2 juta ton di antaranya adalah sampah plastik yang dibuang ke laut.Â
Sementara itu sampah kantong plastik yang dibuang ke lingkungan adalah 10 miliar lembar per tahun, atau sekitar 85.000 ton. Sebuah laporan dari Ocean Conservancy pada tahun 2017 menyatakan bahwa Cina, Indonesia, Filipina Thailand dan Vietnam telah membuang lebih banyak plastik ke laut daripada gabungan sampah plastik negara lainnya di seluruh dunia.

Pada Jumat, 15 Maret 2019, ditemukan paus paruh angsa yang mati di Filipina, menelan 40 kg plastik (Kompas.com, edisi 18 Maret 2019). Pada Senin, 1 April 2019, ditemukan paus sperma yang mati di Italia, menelan 22 kg plastik (Kompas.com edisi 2 April 2019).
Adegan kontemporer plastisisme yang masih tetap kita perankan apa adanya, dan seolah tanpa ada usaha untuk menyadari bahayanya, adalah realisme sosial yang tipikal dan menunjukkan perkembangan lebih mundur kesadaran kita sebagai manusia, sekalipun mungkin bahan-bahan plastik telah menyokong perkembangan lebih maju ekonomi kita.Â
Kita bisa saja mengklaim diri sebagai manusia yang telah berusaha memanusiakan manusia, tapi sadar atau tidak kita telah membunuh kehidupan makhluk lain.Â
Sebagian paus-paus yang ditemukan mati dan menelan plastik itu barangkali sedang mengandung kehidupan di dalam rahimnya, bayi-bayi paus yang mati karena berhimpitan dengan plastik. Kematian akibat ulah manusia yang berlomba mengaktualisasikan diri dengan mementingkan kehidupannya sendiri.

Mari, merubah diri dari hal-hal kecil. Kurangi pemakaian kemasan plastik dalam kehidupan sehari-hari, demi kelangsungan dan keutuhan hidup seluruh makhluk ciptaan. Merubah mental adalah kebutuhan mendesak, silakan mau disebut apa kalau tidak suka dengan kata revolusi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI