Allah ta’ala telah berfirman : “Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah : "Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadah) haji; Dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertakwa. Dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintunya; dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung” (QS. Al-Baqarah : 189). Dan mengenai ibadah haji, sebagaimana disabdakan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Haji itu ‘Arafah”. Diriwayatkan oleh Ahmad dan Ahlus-Sunan dengan sanad shahih.
Maka wajib bagi semua negeri kaum muslimin yang mengetahuinya untuk membatasinya dengan ru’yah negeri yang dituju orang-orang untuk ibadah haji, yaitu negeri Al-Haramain yang mulia.
Dan karenanya, tidak boleh bagi kalian untuk mentaati pemerintah kalian yang menjadikan ‘Ied jatuh pada hari Kamis. Dan barangsiapa yang menyembelih pada hari Kamis, maka sembelihannya itu tidak terjadi pada posisi/tempat yang syar’iy. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda tentang orang yang menyembelih sebelum shalat ‘Ied : ‘Kambingmu itu adalah kambing yang disembelih untuk dimakan dagingnya saja (bukan kambing sembelihan kurban)’. Beliau ‘alaihish-shalaatu was-salaam bersabda : ‘Tidak ketaatan kepada makhluk dalam hal kemaksiatan kepada Allah’. Permasalahan ini bukan seperti perselisihan dalam ru’yah hilal Ramadlaan atau Syawaal, karena puasa dan berbuka dimungkinkan untuk dilakukan di negeri manapun. Adapun hari ‘Arafah dan ‘Iedul-Adlhaa, sudah seharusnya orang-orang untuk bersatu, meskipun hanya satu bagian di waktu siang, berdasarkan ayat-ayat dan hadits. Wallaahu a’lam.
[Fatwa dari Asy-Syaikh Al-‘Ubailaan hafidhahullah - http://kulalsalafiyeen.com/vb/showthread.php?p=97989].
Tanya :
“Fadliilatusy-Syaikh, apakah kami boleh berpuasa ‘Arafah berdasarkan waktu setempat/lokal ataukah kami mesti mengikuti waktu Saudi, yaitu hari kedelapan Dzulhijjah jika berdasarkan waktu setempat/lokal ? Jazaakumullaahu khairan.
Jawab :
‘Arafah adalah nama gunung dimana para jama’ah haji melakukan melakukan wuquf pada hari kesembilan bulan Dzulhijjah. Ia (hari ‘Arafah) merupakan hari yang satu lagi tidak berbilang. Maka, puasa yang bersamaan dengan wuqufnya jama’ah haji adalah puasa yang benar. Adapun selain itu, aku tidak mengetahui sumbernya dari Al-Qur’an maupun As-Sunnah”
[Fatwa dari Asy-Syaikh Dr. Muhammad Al-Maghrawiy hafidhahullah - http://www.darcoran.org/?taraf=fatawi&file=displayfatawi&id=119]
Baca juga artikel kami : Puasa ‘Arafah.
[1] Perhatikan uslub Lajnah dalam menjawab pertanyaan. Mereka menyandarkan bahwa hari ‘Arafah adalah hari dimana orang-orang melaksanakan wuquf di ‘Arafah, dan puasa pada waktu tersebut disyari’atkan bagi orang yang tidak melakukan haji. Kemudian Lajnah berfatwa kepada Penanya bahwa jika si Penanya ingin berpuasa dua hari, maka ia berpuasa pada hari ‘Arafah yang sesuai dengan pelaksanaan wuquf di ‘Arafah yang bertepatan tanggal 8 Dzulhijjah di daerah si Penanya, dan juga hari sebelumnya. Artinya, Lajnah tidak menyarankan si Penanya berpuasa di hari setelahnya, meskipun hari itu bertepatan dengan tanggal 9 Dzulhijjah menurut daerah si Penanya.