Mohon tunggu...
Marjono Eswe
Marjono Eswe Mohon Tunggu... Lainnya - Tukang Ketik Biasa
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Menulis Bercahayalah!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Negasi Prostitusi Daring

13 Juli 2020   18:21 Diperbarui: 13 Juli 2020   18:21 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Daring di musim pandemi ini seolah menjadi raja. Semua aktivitas nyaris berbasis daring. Bekerja via daring, belajar dan atau kuliah lewat daring. Keduanya memanfaatkan kemajuan teknologi informasi yang bernama dalam jaringan (daring). Namun, harap maklum, jauh sebelum pandemi, bahkan hingga sekarang daring pun terlampau akrab dalam bisnis prostitusi. Acap pemberitaan media meanstream on line maupun off line mengoyak soal itu.

Beberapa tahun silam ingatan kita masih merekam hebohnya kasus prostitusi online yang menyeret artis FTV, berinisial VA, meski kini ia telah bebas. Kini sederet praktik ini nampaknya masih beroperasi.

Tim khusus Maleo Polda Sulawesi Utara menangkap Lima orang yang diduga terlibat prostitusi dalam jaringan atau  "prostitusi online" menggunakan salah satu aplikasi di Telepon seluler (Kompastv, 5/6/2020).

Kemudian, Polsek Koja Jakarta Utara berhasil membongkar kasus tindak pidana perdagangan orang (TPPO). Menurut Kapolsek Koja Kompol Cahyo, sebanyak tujuh anak menjadi korban prostitusi daring (mediaindonesia, 27/6/2020).

Baru-baru ini, artis FTV berinisial HH (23) ditangkap di sebuah hotel di Medan, Sumatara Utara. Kepolisian Medan dari Unit Perlindungan Perempuan dan Anak Satreskrim Polrestabes Medan mendalami dugaan prostitusi online terkait penangkapan artis HH (Ayobandung.com, 13/7/2020). Ini semua mesti membawa kewaspadaan dan awareness baru bagi semua pihak, termasuk orangtua dan atau keluarga.

Pada satu masa, viral pemberitaan kasus demikian bahkan mampu menenggelamkan isu politik maupun isu update lainnya. Terkuaknya bisnis esek-esek itu menuai kontroversi. Ada pihak yang menyalahkan penjual, sementara yang lain berteriak membela pembelinya.  Ada pula yang berkeras, keduanya sama-sama bersalah dan komentar lainnya. Juga ada yang bilang, biang semua itu adalah brooker, mucikari atau sebutan lainnya.

Prostitusi bukanlah hal baru, jejak prostitusi dari jaman kerajaan, penjajahan hingga sekarang sepertinya tak kunjung padam. Barangkali praktik ini agak berbeda. Dulu, lebih konvensional atau mangkal, tapi kalau sekarang sudah ada gadget, media sosial dan praktik lain yang berbasis on line. Tidak harus ber-homebase, tapi leluasa mobile. Tak sedikit motif prostitusi berlatar soal ekonomi, kemiskinan dan kekuatan kepepet (terdesak), dll.

Wajah kemiskinan pun menurut Foucault kini bergeser menjadi wilayah bisnis. Keadaan ini disebut sebagai kematian manusia. Yakni hilangnya konsep manusia sebagai pusat pengetahuan sehingga mereka sesungguhnya menjadi bentuk yang menyerupai karena manusia telah hilang unsur kemanusiaannya. Bisa jadi prostitusi daring juga irisan dari kemiskinan dan alienasi kemanusiaan.

Kemiskinan lantas menjadi fenomena multidimensi karena barangkali sama halnya dengan seks, kemiskinan mencakup ke seluruh aspek mulai dari biologis, psikologis sampai sosio-kultural yang tertanam dalam perilaku.

Problema itu nampaknya hampir selalu ditindih oleh  kekuatan materialistik.  Gaya hidup glamour sudah menguasai diri dan tak terbendung acap hinggap pada sebagian masyarakat kita. Beroleh uang dengan cara mudah dan cepat atau instan menjadi pilihan. Anehnya lagi, cara-cara itu dipandang sebagai bagian upaya naik kelas bagi keluarganya sehingga menghapus stigma miskin.

Tak jarang kita dengar opini mimbar bebas, terungkap prostitusi konvensional maupun daring merupakan praktik ekonomi underground, seperti trafficking, kriminal, free sex, drugs, dan kekerasan. Praktik seks ini tak cuma milik kalangan artis, model tapi sudah menyebar di aras mahasiswa, pelajar bahkan anak di bawah umur.

Tak sedikit mereka yang menghirup kue dari praktik ini, mulai kelas jalanan, lokalisasi pun sudah memanfaatkan kemajuan IT. Selain gaul, moderat dan bisa lebih cepat menangkap gurame atau kakap. Tapi, warning Undang-undang ITE juga siap menanduk.

Atau mungkin karena penutupan beberapa lokalisasi di beberapa daerah. Bisnis satu ini semakin menunjukkan pasarnya seiring kemajuan teknologi. Teknologi memang bermuka dua, bisa sebagai malapateka tapi juga dapat menjadi berkah bagi penggunanya.

Di tengah kacaunya penat kebutuhan dan nihilnya kecakapan hidup, hati dan pikiran pelaku prostitusi ini beku dan tak ada jalan lain kecuali memberi label harga atas tubuhnya sendiri. Padahal, dengan menjajakan tubuh, para pekerja seks tersebut telah merendahkan mutu dirinya sendiri hingga setinggi tanah.

Harga mereka hanya lembaran-lembaran rupiah. Kondisi ini membuat jejaring prostitusi on line ini semakin compang-camping atas pijakan moral dan karakter serta kian mengaburkan mereka pada diksi yang dianut, yakni no pain no gain.

Diakui atau tidak, barisan di dalamnya merupakan sosok-sosok yang rentan atas penyusupan kontraproduktif dan wajib bagi semua pemangku kepentingan mengembalikannya pada nilai-nilai keutamaan yang barangkali mulai limbung.   

Untouchable 

Pebisnis prostitusi apalagi yang on line selalu menyembunyikan praktik gelapnya dengan merakayasa label usaha atau bidang jasanya diantara bejubelnya bisnis daring di republik ini. Seperti untouchable - mungkin, kasus di atas maupun pelaku lainnya hanya sepotong dari gugusan lain dari bisnis gelap yang masih masif.

Pada aras bahasa terlampau cakap menyembunyikan prostitusi dengan menyodorkan eufimistis. Telah beredar berbagai jenis predikat untuk perempuan yang berprofesi dengan urusan seks berbayar. Mulai dari lonte, sundal, wanita jalang, pelacur, pramuria, kupu-kupu malam, penghibur, perek, hostes, wanita  tuna susila (WTS) dan pekerja seks komersial (PSK).  

Para aktor prostitusi cenderung memandang profesinya secara berbeda. Bisnis ini melibatkan dimensi luas, tak cuma angka. Tapi juga sudah menjangkau ranah psikologis, sosial bahkan etika. Mereka secara fitroh dipastikan tak mau dan menolak melakukan pekerjaan rendah, hina dina tersebut. Tak pernah ada yang bercita-cita seperti itu. Orangtua bakal malu dan tak sudi makan uang hasil esek-esek, jika tahu anaknya mata pencahariannya seperti itu.

Pada sisi lain, mereka kerap dijadikan komoditas survei, penelitian bagi mahasiswa, dosen dan periset lain. Sedikitnya, mereka juga pernah berjasa menghantarkan mahasiswa dan dosen maupun periset lain itu menyandang gelar keilmuannya maupun beroleh cum, tapi jarang sekali ucapan terima kasih tertuang eksplisit dalam karya ilmiah para intelek. Kecuali Iwan Fals dalam lirik salah satu lagunya.

 Prostitusi itu tajuk lain dari pelacuran. Untuk itu, hari ini kita layak taubat, membunyikan, "stop dan akhiri praktik pelacuran." Termasuk negasi (meniadakan) pelacuran jabatan, intelektual maupun negeri. Inilah kopi pahit dan penyadaran buat kita semua.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun