Mohon tunggu...
Tengku Bintang
Tengku Bintang Mohon Tunggu... interpreneur -

Pensiunan

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Diskotik Brengsek!

15 Juli 2012   22:41 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:55 3571
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sekali-kalinya dalam hidup saya memasuki tempat hiburan yang diidentikkan dengan gaya hidup metropolitan - dimana matahari tak pernah tenggelam - ialah diskotik. Itu karena dua orang teman lamaku dari Oklahoma datang.Sebagai mantan sejawat di masa lalu sudah sepatutnya saya menunjukkan arti persahabatan, sekaligus kehangatan tuan rumah. Kebetulan pula saya berada di Jakarta maka saya sempatkan menyambut mereka di Cengkareng. Lalu pada malam harinya kami terlibat dialog akrab mengenang masa lalu (dalam bahasa mereka tentunya, hehehe..) dilanjutkan dengan jalan-jalan menembus udara malam Kota Jakarta. Sehingga sampailah kami di diskotik itu.

Di diskotik itu, saya beruntung melihat banyak teman se-usia, sesama tua-tua keladi. Malahan di suatu pojok terlihat kepala botak mengerjap-ngerjap di bawah sinar lampu, jelas usianya lebih tua dari saya. Ini membuat saya agak percaya diri. Suasananya sedikit berisik, mirip pasar burung di bawah lampu temaram.Aktifitas hiburan belum dimulai sehingga saya berkesempatan mempelajari situasi, termasuk membuat perencanaan tentang cara cepat mencapai pintu jika terjadi kerusuhan di ruangan ini, atau jika tiba-tiba terjadi kebakaran.

Hal pertama yang mengusik ketenangan saya adalah asap rokok yang bergulung seperti kabut tebal. Saya sendiri perokok tapi belum pernah melihat asap berbusa-busa seperti itu. Semua orang merokok, tidak laki-laki tidak perempuan. Di ruangan ber-AC, tanpa ventilasi, kedap suara pula. Jelaslah, tak ada orang memedulikan kesehatan hari esok. Semuanya hanya menginginkan kesenangan malam ini saja.

Tiba-tiba terdengar ledakan keras seperti petir menyambar. Glegaarrr….!! Dar-der-dor…!Seketika saya berdiri karena terkejut, menyangka itu bom teroris. Tetapi orang lain saya lihat tenang-tenang saja. Rupanya itulah gong tanda hiburan dimulai. Seseorang di bawah suatu saung menyetel volume perangkat elektroniknya langsung pada posisi maksimum ketika dihidupkan. Lalu ia pasang aksi melemparkan piringan hitam ke udara, menangkapnya lagi setelah membalik badan. Lalu berteriak : “Jek…, jek…, jek…!” Pengunjung bertepuk tangan. Sejak saat itu, tak ada lagi gunanya mulut dan telinga di ruangan itu. Yang ada hanya blitz lampu dan suara musik yang berdentam seperti gunung runtuh!

Pelayan diskotik datang membawa baki berisi 3 gelas minuman dengan api biru di atasnya. Pastilah beralkohol tinggi setara spritus, maka bisa menyala. Pelayan memadamkan apinya dengan menutupkan piring kertas. Teman saya meminumnya, dan saya pun tak tahan untuk tidak mencicipinya sedikit saja. Ya, ampun, mulut langsung seperti terbakar. Pahitnya alang-kepalang, melebihi pil kina! Saya cepat-cepat membersihkan mulut dengan cara apa pun yang bisa dilakukan!

Tiba-tiba seorang gadis penari melompat ke atas meja kami, dan mulai berdisko dengan gaya menantang. Salah satu dari teman saya bangkit, menyambut tantangan, bermaksud ikut naik ke atas meja. Tapi sebelum mereka beraksi, saya sudah mengambil keputusan bulat. Kepada teman satunya lagi saya berkata: “Saya mau keluar mencari segelas kopi. Mungkin saya akan mencarinya ke Jambi!” Lalu saya menitipkan mereka kepada penunjuk jalan yang mereka sewa dari hotel.

*****

Kini saya sudah berada di ladang lagi, di tempat saya biasa bersalaman dengan keramahan alam. Sudah hampir seminggu berlalu sejak peristiwa diskotik brengsek itu, telingaku masih terasa buntu, masih berdenging-denging. Tetapi saya tak akan menceritakan pengalaman ini kepada siapa pun di lingkunganku.

Saya hanya tak habis pikir dengan pertengkaran hebatku dengan seorang kawan beberapa waktu lalu di Kompasiana. Sekali lagi, soal kondom-nya Nasfiah Mboy. Dari lapak komentar-komentar beralih ke japri, sampai menyinggung asal-usul dan tingkat pendidikan segala. Uniknya, pertengkaran itu didasari alasan yang sama, yaitu menyelamatkan masa depan pemuda harapan bangsa!

Menurut saya, seharusnya Nafsiah Mboy mengkampanyekan kondom di tempat yang tepat, misalnya di diskotik. Di tempat seperti itu, barangkali sekarung kondom pun bisa mereka habiskan sebagai cemilan menemani minuman keras. Jangankan kondom tipis terbuat dari latex, bahkan kondom dari kulit kerbau pun masih kurang tebal untuk mereka….

Kepada kawan itu sekali lagi saya tawarkan perbandingan yang lebih eksplosif: “Apa tanggapan Anda sebagai kompasianer, jika ada pengumuman setiap Kopdar Kompasiana mesti dibekali kondom? Apakah Anda gembira mendengarnya, jengkel, marah, muak atau jijik? Begitulah perasaan anak-anak SMA itu dan perasaan orangtuanya. Ada segelintir yang dapat menerimanya, tapi kebanyakan menolaknya karena menganggapnya sebagai pelecehan terhadap martabat kemanusiaan.

Ah, Selamat Pagi, Kompasiana. Rumah Kerinduan!

*****

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun