Sebuah tempat makan makanan khas Semarang, seperti lumpia, gongso, dan lain-lain, menarik hati saya, seseorang yang berdarah campuran Jawa-Kalimantan yang merindukan makanan khas Semarang. Tempat ini bernama Lumpia Semarang Mbak Tin yang berada di perbatasan.
*)Catatan: foto diambil mendekati magrib dengan kamera point & shoot sehingga gambar kurang cahaya dan sedikit gelap.
Tempat makan Lumpia Semarang Mbak Tin di perbatasan Jakarta tampil klasik dan artistik. Tampak tegel, batu bata, dan segala pernak-pernik. Ada rasa Semarang pada mebel dekat pintu yang besar dan berukir, seperti kursi panjang dan lemari. Bahkan, papan permainan biji congkak yang berukir bebek juga menarik.
Kucing berbulu oranye itu tidur saja di kursi dengan tenang. Memang tempat itu rasanya tenang dan santai sekali seperti suasana rumah lama, apalagi jika mengalun alat musik Jawa, makin kental nuansa daerahnya. Mata kucing itu terbuka saat saya mendekatinya. Saya memotretnya dengan lampu pijar membuat matanya makin terbuka lebar. Wahai kucing, maafkan saya ya.
Kucing itu kembali menungkupkan kepala setelah sadar bahwa hanya seorang manusia biasa tanpa makananlah yang mengganggunya beristirahat. Saya kulo nuwun sama kucingnya sekaligus kepada pemilik tempat ini untuk memotret ruang usahanya dengan kamera mungil Kodak Ektar H35 yang saya bawa.
Beberapa waktu sebelumnya, saya melakukan touring naik motor ke Puncak. Saya melihat di pinggir jalan sekitar pasar, penjual-penjual menaruh hasil bumi yang melimpah, salah satunya daun bawang yang masih utuh dan segar. Saya langsung teringat dengan lumpia Semarang. Lidah saya rindu akan rasa perpaduan rebung, kulit lumpia, dan daun bawang yang dimakan secara bersamaan dengan sausnya. Dari rasa rindu itulah, waktu mempertemukan saya dengan lumpia Semarang yang dimasak oleh "mbak-nya".
Di sini juga tersedia menu berbagai nasi goreng dan gongso, tetapi gongso di sini agak berbeda dengan yang di Semarang. Gongso di sini lebih "berkuah". Awalnya gongsonya tidak demikian, namun karena "perihal konsumen", gongso di sini menjadi lebih berkuah. Kalau tidak salah, seperti itu cerita di atas dari pendengaran saya atas obrolan yang didominasi bahasa Jawa. Bisa saja salah. Rasanya? Enak menurut lidah saya, apalagi perut saya.