Hasto Kristiyanto absen dalam pertemuan Megawati Soekarnoputri dan Prabowo Subianto karena terjerat kasus hukum akibat ulahnya sendiri. Konfrontasi terhadap Jokowi yang terus digaungkan Hasto terbukti tidak lagi efektif bahkan sudah mengarah kepada dugaan hanya demi kepentingan pribadi tapi tidak untuk PDIP.Â
Bagi yang memahami politik Indonesia dengan dalam, ini bukan sekadar soal kehadiran fisik. Ini adalah pesan politik yang gamblang mengingat status Hasto masih tercatat sebagai Sekjen PDIP, kenapa pertemuan dua tokoh besar ini terus tertunda, alasannya cukup jelas karena pihak yang tidak berkenan jika Presiden Prabowo dan Presiden ke 5 RI Megawati menjadi kompak.
Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan itu selama ini dikenal sebagai "penjaga gerbang" ideologis partai. Di banyak kesempatan, Hasto tampil sebagai sosok keras, kaku, bahkan konfrontatif terhadap kekuatan politik di luar PDIP. Keteguhan itu pernah menjadi aset. Tapi dalam konteks politik hari ini, justru menjadi beban.
Megawati tampaknya sadar, zaman telah berubah. Rakyat menginginkan pemimpin yang mampu merangkul, bukan mengurung diri dalam menara gading ideologi yang kian jauh dari realitas politik modern.
Pilpres 2024 menjadi pelajaran pahit. Di bawah strategi yang sangat ideologis dan defensif, PDIP gagal memenangkan kontestasi nasional. Ganjar Pranowo, yang sejak awal potensial untuk merebut simpati luas, justru terjebak dalam kerangka komunikasi politik yang kaku dan eksklusif sebuah warisan dari gaya politik Hasto.
Kekalahan ini seharusnya menjadi tamparan keras. Dan mungkin, Megawati sudah mulai memahami: untuk bertahan dalam politik, adaptasi jauh lebih penting daripada nostalgia terhadap masa lalu.
Dengan tidak mengikutsertakan Hasto dalam pertemuan dengan Prabowo, Megawati memperlihatkan bahwa ia siap melangkah sendiri, memilih masa depan daripada mempertahankan loyalitas terhadap model politik lama yang sudah usang.
Tidak bisa diabaikan, Hasto telah menjadi simbol dari era politik PDIP yang keras kepala, tertutup, dan kadang arogan. Sebuah era yang kini mulai dipertanyakan efektivitasnya.
Politik Indonesia saat ini bergerak cepat.
Polaritas ekstrem yang dulu menguntungkan, kini justru ditinggalkan rakyat yang lelah dengan pertikaian. Butuh gaya baru: politik kolaboratif, adaptif, dan cerdas membaca arah zaman.