Mohon tunggu...
Temannya Mardi
Temannya Mardi Mohon Tunggu... Koki - Temannya Mardi

Belajar menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Mardi, Marni (Bagian 3)

19 September 2019   19:07 Diperbarui: 19 September 2019   19:24 9
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Ramadhan kemarin adalah ramadhan pertama sejak Mardi dan Marni menikah. Sudah menjadi kebiasaan di keluarga Mardi, 2 hari sebelum lebaran, mbah Putri sudah sibuk di dapur membuat ketupat dan rendang daging sapi, juga kuah opor berikut sambal gorengnya. Tidak pakai ayam seperti jamak keluarga lainnya. Hanya ketupat, kuah opor, sambal goreng, dan rendang daging sapi.

"Kenapa masak-masaknya tidak besok saja mbah, kan masih cukup waktu", tanya Marni mencoba menelisik sejarah berlebaran di keluarga Mardi. "Welah, masakan sing nganggo santen-santen ngene ki enake nek wes nget-ngetan, Ni.." artinya, besok adalah waktu untuk menghangatkan semua masakan yang sudah jadi. Menyempurnakan yang sudah sempurna. Pikir Marni.

Marni yang masih kikuk dengan kegiatan barunya, mencoba membantu dengan cara bersiaga di samping mbah Putri. Jika sewaktu-waktu mbah Putri minta tolong, Marni sudah siap. Tentu sambil memperhatikan segala sesuatu yang bakal menjadi kebiasaannya di lebaran-lebaran berikutnya.

"Ni, Mardi ki kawit cilik ora seneng karo daging ayam, embuh ngopo.. makane simbah ora masak opor ayam". Marni yang sudah tahu kalau suaminya cenderung tidak doyan daging ayam itu hanya bilang, "Nggih mbah.." sambil mengangguk. 

Memang, Mardi pernah bercerita kepada istrinya, kenapa tidak suka dan cenderung tidak doyan dengan daging ayam, karena, dulu, sewaktu Mardi masih kecil pernah diberi hadiah anak ayam oleh bapaknya. Dipeliharanya sampai besar dan akhirnya mati tua. Menurut Mardi, ayam lebih pantas dipelihara dari pada dimakan.

Takbir berkumandang, ramadhan telah selesai. Bakdha maghrib, takbir bersahut-sahutan dari masjid satu ke masjid yang lain. Hari kemenangan dirayakan. Di kamar, Mardi dan Marni bersantai, sementara Sri sama mbah Putri ke Masjid kampung ikut pawai takbir. "Jan-jane, hari kemenangan ki sing kepiye to Mas?".

Oiya, meski Marni lebih tua dari Mardi, ia menghormati suaminya dengan memanggil Mas, alih-alih, Mardi. Awal-awal Mardi tidak sepakat, karena dirinya ingin merasa seperti masih berteman saja. Panggilan Mas, bagi Mardi memberi jarak. Tapi tidak demikian untuk Marni, panggilan Mas menempatkan Mardi sebagai suaminya, orang yang bakal melindungi dirinya dan anaknya, lebih dari itu, panggilan Mas adalah penghormatannya, sebelum orang lain melakukannya.

"Lha kan poso menahan hawa nafsu. Nah, sesasi wutuh dewe iso nahan ora ngumbar hawa lan nepsu ki diartikne menang". Jawab Mardi. "Weleh, hakok mung sesasi tok Mas?, Emange bar kui wes ra perlu nahan?" sahut Marni. "Hanek amor kowe ngene ki, sopo sing kuat, jo meneh nganti sesasi.. Gusti ki yo mikirke wong-wong model koyo aku ngene ki" Mardi meng-kode keras. "Karepmu Mas, ndang wes. Selak do mulih..". Marni terpojok.

Mardi pun mrenges bahagia di hari kemenangannya.

"Pancen gusti Allah ki sayang tenan ro aku, Ni.."

"Hhmm.." sahut Marni waktu diplotrokke.

 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun