Belum genap 1 tahun menjabat sebagai Ketua Umum DPP Partai Golkar, Bahlil Lahadalia telah menghasilkan berbagai kontroversi di tengah masyarakat. Keberadaannya yang seharusnya menjadi simbol dari Partai Golkar seolah membawa beban baru terhadap eksistensi Partai Golkar di tengah masyarakat.Â
Mungkin kita ingat salah satu kontroversi yang memantik banyak kemarahan publik di masa-masa awal ia menjabat sebagai Ketua Umum Partai Golkar dengan kata-kata 'Raja Jawa'. Kata-kata ini bahkan membuat ada sebagian massa yang menjadikan kantor DPD I Partai Golkar Jakarta sebagai sasaran pada aksi #peringatandarurat.Â
Kata-kata Bahlil yang disinyalir diarahkan kepada sosok Jokowi tersebut seolah menantang masyarakat mengenai hegemoni seorang raja yang berkuasa dan ditakuti rakyatnya. Alhasil rakyat membuktikan daulatnya. Namun tak bisa dipungkiri, pernyataan Bahlil terkait 'Raja Jawa' itu telah membuat amarah rakyat makin membumbung tinggi.Â
Tak selang lama dari persoalan kata-kata 'Raja Jawa', Bahlil kembali membuat kontroversi dengan tersebarnya foto ia dan minuman keras merk Whiskey 'Hibiki'. Bukan soal minuman keras itu bertolak belakang dengan kepribadian timur, namun harga dari minuman itu juga bikin kita memicingkan mata.Â
Minuman keras whiskey 'Hibiki' itu diketahui seharga 38 juta rupiah. Sebuah harga yang sangat mahal. Netizen bahkan ada yang membandingkan harga minuman keras di foto tersebut dengan UMR Jogja. Atas fotonya tersebut Bahlil dianggap bukan sosok pemimpin teladan, ia tak bisa memberikan teladan, tak mencerminkan kepekaan terhadap kesulitan ekonomi masyarakat, meski seringkali ia mengaku pernah hidup susah.Â
Belum berhenti kontroversi yang dilakukannya, Bahlil kembali membuat keriuhan. Kali ini riuh datang dari kebijakannya. Yakni melarang pedagang eceran menjual tabung LPG 3 kg. Imbas kelangkaan, warga antri panjang di agen pangkalan LPG sejumlah wilayah. Bahkan seorang warga Tangerang Selatan berusia 62 tahun sampai meninggal dunia akibat kelelahan setelah mengantri.Â
Kebijakan yang dilakukan Bahlil dianggap rada-rada oleh sebagian kalangan. Ia ingin menyederhanakan rantai distribusi tanpa terlebih dahulu melakukan kajian dan mitigasi kebijakan. Berkat kebijakannya itu, Bahlil telah berhasil membuat jutaan rakyat Indonesia mengalami kesulitan dalam mendapatkan LPG. Presiden pun turun tangan, meminta Bahlil untuk segera membereskan kondisi yang sudah kadung berantakan.Â
Teranyar adalah kontroversi mengenai gelar S3-nya. Setelah melakukan sidang disertasi, publik menggugat. Sebab, Bahlil diketahui menerbitkan karya ilmiahnya ke dua jurnal internasional, yaitu Migration Letters dan Kurdish Studies. Hal ini membuat kedua jurnal tersebut menjadi jurnal predator atau jurnal yang menerbitkan karya ilmiah tanpa melalui peninjauan dari peneliti lainnya.
Polemik mengenai gelar doktoral Bahlil tidak berhenti pada jurnal predator saja. Bahlil juga dihadapkan dengan tuduhan plagiarisme. Isu ini muncul setelah adanya laporan kesamaan antara disertasinya dengan skripsi seorang mahasiswa dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.Â
Kontroversi seputar gelar doktor Bahlil juga memicu ketegangan dengan Jaringan Advokasi Tambang (JATAM). JATAM mempertanyakan kredibilitas disertasinya yang berjudul "Kebijakan, Kelembagaan, dan Tata Kelola Hilirisasi Nikel yang Berkeadilan dan Berkelanjutan di Indonesia." Koordinator Nasional JATAM, Melky Nahar, mengatakan pihaknya tidak pernah memberikan persetujuan untuk menjadi informan dalam disertasi Bahlil.Â