Mohon tunggu...
Teguh Pengabdian
Teguh Pengabdian Mohon Tunggu... Mahasiswa di Fakultas Ekonomi UII, Badan Pengurus Harian Islamic Economics Study Club (IESC), Muallim dan Tim Koordinator Lapangan Ta'lim FE UII. -

IG : @teguhpengabdian LINE : teguhpengabdian

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Ride Sharing dengan Uber, Solusi Mengatasi Kemacetan di Perkotaan Besar

5 November 2017   08:17 Diperbarui: 5 November 2017   08:39 798
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: www.reisster.nl/

Hidup di kota besar tentu harus siap menerima berbagai permasalahan yang ada, mulai dari tingkat kriminalitas yang lebih tinggi hingga tingkat kemacetan yang lebih parah jika dibandingkan didaerah kecil ataupun pedesaan. Meskipun demikian, alasan pertumbuhan ekonomi yang pergerakkannya lebih cepat di kota-kota besar membuat sebagian besar masyarakat tidak memiliki pilihan lain selain harus siap untuk fightingdengan segala persoalan di perkotaan besar.

Pada tulisan ini, saya akan menjelaskan bagaimana pengalaman yang saya rasakan hingga saat ini dalam menjalani kehidupan di sebuah daerah yang dulunya pernah menjadi Ibu Kota Negara, ialah Yogyakarta.

Tahun 2015 Awal Mula Saya Menginjakkan Kaki di Jogja

Saya merupakan seorang mahasiswa yang lahir dan besar di Kabupaten Dompu, salah satu diantara Kabupaten di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). Di daerah saya, tingkat pertumbuhan perekonomian tidaklah terlalu cepat jika dibandingkan dengan daerah di kota lain, hal inilah yang membuat jumlah pendatang yang hidup dan beraktifitas disana tidak terlalu banyak, dan tentu yang namanya kemacetan tidak akan ditemukan.

Setelah lulus dari SMA pada tahun 2015, saya memutuskan untuk melanjutkan studi ke Yogyakarta dan memilih sebuah Universitas swasta terbesar disana. Pada awal menginjakkan kaki di Jogja, hal pertama yang muncul dibenak saya adalah "Menakjubkan". Bagaimana tidak, ketika telah mendarat di bandara Adisucipto, pandangan saya langsung disuguhkan dengan kereta api yang tengah beroperasi yang dimana sebelumya saya tidak pernah mendapatkan momen tersebut di daerah saya (meskipun di Televisi begitu sering). Disisi lain, ketika mulai masuk kejalanan, begitu banyak kendaraan yang lalu lintas, mulai dari mobil, motor, sepeda, bis, dan bahkan transportasi tradisional.

Pada tahun yang sama, menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS) DIY menyebutkan bahwa jumlah kendaraan yang beroperasi di Jogja  kurang lebih 2,2 Juta (dua koma dua juta) unit. Dari data tersebut, motor dan mobil adalah kendaraan yang paling mendominasi. Tecatat bahwa untuk kendaraan roda dua sebanyak 1,9 juta (satu koma sembilan juta) unit dimana jumlah tersebut naik 7,9% dari tahun sebelumnya (2014). Sementara untuk roda empat (mobil) berjumlah 206,7 ribu (dua ratus enam koma tujuh ribu) unit.

Pada tahun setelahnya yakni ditahun 2016, dari data yang di keluarkan oleh Polda DIY, tercatat bahwa pada tahun tersebut jumlah kendaraan roda dua meningkat sebanyak 71.566 unit dan untuk roda empat sebanyak 12.746 unit. Hal ini berarti jumlah kendaraan yang beroperasi di Yogyakarta semakin meningkat dan tentu hal ini akan membuat jalanan semakin macet. Dan untuk tahun 2017, pastinya akan terus mengalami kenaikan mengingat kota Jogja adalah surganya para pendatang.

Pengalaman Bersama Kemacetan

Saya termasuk satu diantara jutaan pengendara bermotor yang berada di Jogjakarta. Aktifitas saya menggunakan motor sebagian besar dihabiskan untuk mengantarkan saya dari tempat kos menuju kampus. Jarak antara tempat kos saya dengan kampus kurang lebih 2 kilometer (ukuran google maps). Dua tahun lalu, yakni pada tahun 2015, waktu yang saya habiskan untuk menuju kampus dengan kecepatan standar 40 - 60 km/jam, antara 5 - 10 menit. Waktu tersebut telah ditambah dengan total waktu yang saya habiskan bersama kemacetan yang ada. Itu dua tahun yang lalu, pada tahun berikutnya (2016), dengan ukuran kecepatan yang mulai diturunkan, saya bisa menghabiskan 10 - 15 menit untuk menuju kampus, dan pada tahun ini, di 2017, ukuran kecepatan yang saya gunakan lebih banyak di bawah 40 Km/Jam, dan tentu dengan semakin macetnya lalu lintas, waktu yang digunakan untuk menuju kampus dari tempat kos bisa mencapai 20 menit lebih padahal dari tahun ke tahun, jarak antara kos saya dengna kampus tidak pernah mengalami perubahan. Lantas, apakah yang menjadi permasalahannya? Jawabannya tidak lain dan tidak bukan ialah semakin meningkatnya jumlah kendaraan pribadi baik kendaraan bermotor maupun mobil sehingga berimbas pada semakin bertambahnya kemacetan. Keadaan ini dikhawatirkan akan semakin parah jika terus dibiarkan, mungkin 5 - 10 tahun mendatang, dampak dari kemacetan ini tidak hanya akan berimbas pada waktu yang terbuang lebih banyak, akan tetapi dari sisi kesehatan, ketersedian minyak bumi, dan ketersediaan lahan parkir akan semakin sulit dan bahkan akan menimbulkan terjadinya kelangkaan.

Video berikut adalah gambaran keadaan ketika kendaraan telah menumpuk untuk lima tahun mendatang di Ibu Kota Negara saat ini.


HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun