Mohon tunggu...
Teddy
Teddy Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Departemen Politik dan Pemerintahan

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Perlukah Kembali kepada Sistem Pemilu Orde Baru

23 Desember 2021   21:35 Diperbarui: 23 Desember 2021   21:40 336
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pemilihan umum merupakan kebutuhan mutlak dan prasyarat utama dalam mendefinisikan demokrasi dalam suatu negara.  Karena itu, pemilihan umum atau pemilu harus juga diselenggarakan secara demokratis. Sebagai Negara demokrasi, pemilu menjadi isu yang sangat penting dan strategis. Dalam negara demokrasi, pemilu berfungsi sebagai alat penyaring untuk orang-orang yang akan mewakili dan membawa suara rakyat di dalam lembaga perwakilan. Joseph A. Schumpeter mendefinisikan demokrasi sebagai suatu metode politik yang mengandung pola bangunan hukum sampai pada keputusan politik yang dimana individu-individu mendapatkan kekuasaan dalam memutuskan melalui perjuangan kontestasi guna mendapatkan suara rakyat. Pendefinisian ini secara tersirat, mengacu kepada pemilu sebagai demokrasi prosedural.

Pada umumnya pemilu sebagai mekanisme dan sarana untuk menyeleksi para pemimpin memiliki tiga tujuan. Pertama, pemilu merupakan mekanisme penyeleksian dan pendelegasian atau penyerahan kedaulatan kepada orang atau partai terpilih. Kedua, pemilu juga kerap diartikan sebagai mekanisme pemindahan konflik kepentingan dari masyarakat kepada badan-badan perwakilan rakyat melalui para wakil terpilih. Ketiga, pemilu dipercaya sebagai bentuk keterlibatan masyarakat dalam proses politik dengan memobilisasikan atau menggalang dukungan terhadap negara.  Dengan kata lain, tujuan pemilu adalah untuk memilih atau menyeleksi figur-figur yang kompeten untuk ditempatkan dalam posisi pemerintahan melalui proses demokratis.

Pada dasarnya demokratis tidaknya penyelenggaraan pemilu ditentukan oleh beberapa unsur, salah satunya adalah sistem pemilu. Sistem pemilu berperan penting dalam menentukan sukses tidaknya pemilu sebagai sarana partisipasi aktif rakyat. Pilihan atas sistem pemilu merupakan salah satu keputusan kelembagaan paling penting dalam penyelenggaraan pemilu (Pratiwi, 2018). Keputusan untuk mengubah atau mempertahankan sistem pemilu kerap dipengaruhi oleh dua keadaan. Pertama, para aktor politik tidak mempunyai pengetahuan dasar tentang berbagai pilihan sistem pemilu sehingga terkadang konsekuensi atas pilihan yang ada tidak menjadi konsiderasi. Kedua, terkadang aktor politik menggunakan pengetahuan mereka untuk mempromosikan atau memperjuangkan desain tertentu yang dianggap memberikan keunggulan bagi mereka (Reynolds, 2005). Oleh karena itu, sangat penting bagi suatu negara untuk menentukan desain atau sistem pemilu mana yang bakal diterapkan karena akan memiliki konsekuensi bagi demokratisasi di suatu negara.

Sejak 2004 hingga sekarang indonesia menggunakan sistem proporsional daftar terbuka sebagai sistem pemilu.  Pemilihan sistem ini didasarkan pada terbangunnya kedekatan antara wakil rakyat dengan konstituen. Dalam sistem ini, partai politik tidak dapat menjalankan fungsi rekrutmen dengan demokratis. Pada sistem ini partai politik hanya bertindak sebatas  jembatan para wakil rakyat untuk duduk dalam lembaga perwakilan. Sistem proporsional daftar terbuka dengan suara terbanyak tidak hanya memperlemah partai politik sebagai sebuah institusi demokrasi yang hanya sekedar menjadi event organizer  tetapi juga memberikan insentif bagi calon wakil rakyat, pemilih dan penyelenggara pemilu dalam transaksi jual beli suara. Pada keadaan ini, partai politik tidak hanya kehilangan legitimasi dari rakyat tetapi juga kehilangan peran sebagai peserta pemilu (Pratiwi, 2018).

Keberadaan partai politik menjadi salah satu ciri utama dalam negara demokrasi. Hal ini disebabkan partai politik merupakan subjek dan objek dari pelaksanaan pemilu. Disebut subjek karena partai politik dapat menempatkan anggotanya dalam jabatan publik baik dalam ranah legislatif maupun eksekutif. Dan disebut sebagai objek karena partai politik merupakan peserta pemilu yang wajib mengikuti aturan dan mekanisme pemilu yang telah ditetapkan oleh badan penyelenggara pemilu. Berdasarkan hal tersebut maka partai politik dapat disebut sebagai ruh dari pelaksanaan demokrasi di suatu negara (Satriawan, 2019). Hal ini sejalan dengan pernyataan Clinton Rossiter (2006) yang mengatakan tidak ada demokrasi tanpa politik dan tidak ada politik tanpa partai. Oleh karena itu, peranan partai politik sangat sentral dalam menentukan kandidat yang kompeten dan berkualitas.

Sistem proporsional terbuka dianggap kurang memberikan ruang bagi partai politik dalam menentukan kandidat yang berkualitas dan berkompeten. Sebab pada sistem ini, sentral utamanya terletak kepada personal kandidat daripada partai politik. Kondisi tersebut menyebabkan reputasi personal calon lebih penting daripada reputasi partai. Hal ini pada akhirnya akan meminimalkan loyalitas calon terhadap parpol. Keadaan konkret tercermin dari banyak politisi yang pindah partai karena partai asalnya tidak mengusung dalam pemilu. Tentu saja keadaan ini akan melahirkan calon-calon karbitan dan mengakibatkan krisis kewibawaan partai politik. Sistem ini juga memberikan ruang lebih bagi personal calon untuk merakit sendiri cara-cara dalam memperoleh kemenangan. Keadaan ini terlihat dimana kampanye politik yang dilakukan relatif bebas dari intervensi partai politik yang mengusungnya. Selain itu, calon tidak hanya mencari dana kampanye sendiri, tetapi juga menentukan secara independen penggunaan dananya (Surbakti, 2006).  Pada posisi ini partai politik hanya bersifat pragmatis dalam merekrut kandidat. Akibatnya proses pengkaderan dan rekrutmen politik hanya sebatas formalitas belaka. Kandidat yang memiliki modal besar akan lebih cenderung diusung oleh partai politik daripada kandidat yang memiliki integritas dan kompetensi yang menghuni. Pada sistem ini, partai politik dianggap kurang berperan maksimal dalam menjalankan fungsi yang melekat dalam dirinya dan mengaburnya ideologi partai politik karena telah dialihkan oleh pikiran-pikiran material. Oleh karena itu, tidak jarang kita melihat banyak partai politik yang mengusung artis dan pengusaha.

Mietzner (2009) mengungkapkan bahwa sistem proporsional terbuka telah menjadikan pemilu sangat mahal dan melahirkan problem yang multikompleks. Realitasnya sistem proporsional terbuka telah melahirkan model kompetisi antar calon yang tak sehat dengan hanya mengandalkan pada uang dan popularitas. Mengapa tidak heran jika biaya pemilu menjadi sangat mahal pada sistem ini. Logika ini yang menyebabkan mengapa ada kecenderungan bagi anggota terpilih untuk melakukan tindakan korupsi. Sebab, para anggota terpilih harus mengembalikan modal yang dilakukan saat berkompetisi dalam pemilu. Money politics lambat laun akan mendarah daging di tengah-tengah masyarakat. Pola seperti ini kerap didominasi oleh pemikiran cost-benefit, dimana masyarakat menganggap bahwa siapapun yang terpilih tidak akan mampu merubah nasib mereka karena itu menjadikan masyarakat sangat mudah terjerumus pada kompetisi transaksional. Akibatnya, pemilu yang dianggap sebagai mekanisme dan sarana yang paling efektif untuk memilih wakil-wakil rakyat yang berintegritas dan berkompetensi akan mencederai demokrasi itu sendiri. Sistem pemilu proporsional terbuka di Indonesia mendapatkan kelanggengannya karena memberikan dampak positif pada peningkatan partisipasi pemilih dan kedekatan antara kandidat dengan konstituen namun dibungkus dengan kelemahan yang bersifat vulgar yaitu money politics.

Sistem pemilu proporsional daftar tertutup seperti yang berlangsung pada masa Orde Baru dinilai akan mendorong masuknya wakil rakyat terbaik di parlemen. Secara sederhana, Sistem proporsional tertutup adalah sistem pemilu dimana para pemilih cukup memilih partai politik bukan kandidat. Artinya, kandidat yang terpilih akan ditentukan oleh partai politik bersangkutan. Kandidat dalam daftar tertutup memiliki sedikit insentif untuk melakukan kampanye independen karena pemilih memberikan suara untuk partai bukan untuk individu (Schmidt, 2003). Sistem proporsional tertutup dianggap mampu meminimalisasi biaya  pemilu dibandingkan sistem proporsional terbuka. Sistem ini juga percaya pada partai politik sebagai wasit dalam menentukan pemenang karena partai dianggap paling paham dan mengerti kandidat mana yang memiliki integritas, kapasitas dan kompetensi yang memadai. Kegelisahan kandidat yang terjadi pada daftar terbuka, seperti modal pemilu yang minim dan kurangnya popularitas dapat dihilangkan pada daftar tertutup. Akibatnya akan banyak muncul kandidat yang berkualitas dan kompeten untuk maju dalam pemilu.

Adanya wacana untuk kembali melakukan pemilu serentak pada tahun 2024 seperti yang dilakukan pada 2019 telah menjadi mengundang perdebatan banyak pihak. Sistem daftar terbuka yang dilakukan pada 2019 dianggap kurang cocok dalam praktek pemilu serentak. Sebab, banyaknya pilihan yang harus dilakukan oleh masyarakat karena yang dipilih adalah kandidat bukan partai politik. Akibatnya, ada kecenderungan untuk memilih tanpa adanya pertimbangan terkait dengan rekaman jejak dan kompetensi dari calon kandidat. Biaya untuk penyelenggara pemilu yang cukup mahal. Daftar tertutup dianggap dapat menjadi solusi dalam mengatasi kompleksitas penerapan daftar terbuka dalam pemilu serentak. Daftar tertutup akan lebih memudahkan bagi masyarakat dalam memilih karena pilihannya hanya untuk partai politik. Beban pelaksanaan pemilu serentak dengan menggunakan daftar tertutup akan lebih memudahkan parpol dan penyelenggara pemilu. Selain itu, daftar tertutup dapat menghindarkan banyak penyelenggara pemilu yang menjadi korban karena kelelahan saat pemilu, seperti yang terjadi pada pemilu 2019. Karena itu secara teoritis, sistem proporsional daftar tertutup memang lebih kompatibel dengan pemilu serentak.

Pada proses pelaksanaan daftar tertutup harus diimbangi dengan reformasi kelembagaan partai politik untuk dapat menerapkan sistem ini dengan demokratis. Karena memperbaiki demokrasi dalam sistem pemilu tanpa menyentuh partai politik adalah pembaharuan yang tak esensial. Untuk menghindari oligarki partai pada daftar tertutup diperlukan reformasi partai politik. Memperkuat fungsi rekrutmen partai politik sangat penting dalam penerapan daftar tertutup. Proses rekrutmen partai politik yang tidak berjalan secara terbuka, transparan dan demokratis akan berakibat pada pemilihan kader yang tidak objektif. Proses penyiapan kader harus dilaksanakan secara sistematik dan berkesinambungan. Rekrutmen partai politik yang hanya bertujuan pada keadaan pragmatis tanpa memperhatikan kompetensi kandidat akan memunculkan calon-calon instan yang tidak berintegritas dan berkompetensi terutama terkait pengetahuan legislasi.

hambatan dalam proses penerapan kembali sistem proporsional daftar tertutup adalah adanya perasaan dan pengalaman traumatis terhadap praktek Orde Baru di Indonesia. Keadaan ini yang berimplikasi kepada adanya anggapan bahwa apabila Indonesia kembali kepada sistem tersebut berarti mengindikasikan adanya kemunduran demokrasi di Indonesia. Karena itu, menjadi sulit untuk dapat menerapkan kembali sistem proporsional daftar tertutup. Namun, sebenarnya sistem tersebut masih menjadi sangat relevan untuk diterapkan di Indonesia, tetapi dengan satu catatan yaitu reformasi partai politik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun