Suatu hari, seorang teman terlihat sedang sangat serius menasihati teman yang lain. Antusiasmenya tinggi. Penggalan katanya jelas dan meyakinkan. Sorot matanya tajam dan penuh semangat. Singkatnya, dia sedang sangat serius menasihati teman yang lain.
Tahukah Anda nasihatnya tentang apa? Ya, nasihatnya adalah tentang "jangan jadi pengusaha!". Inti nasihatnya, dia mengatakan kalau jadi pengusaha itu tidak semudah yang dibayangkan.Â
Butuh modal ini dan itu. Butuh rencana, eksekusi, evaluasi, semangat pantang menyerah dan lain sebagainya. Singkatnya, dia menyarankan untuk sebaiknya jadi karyawan yang terima gaji seperti biasa saja.
Beberapa orang ada yang mengangguk. Beberapa lain ada yang watar (wajah datar) tanpa ekspresi. Ada juga 1-2 orang yang terlihat kurang setuju tapi enggan dan sungkan membantah karena belum punya pengalaman berwirausaha. Singkatnya, beberapa teman yang hadir terpecah menjadi beberapa "mazhab".
Gagal di Kamu, Belum Tentu di AkuÂ
Setelah ikut mendengarkan wajangan panjang lebar tadi, meski tidak seutuhnya saya dengarkan karena jarak meja yang lumayan jauh, beberapa teman meminta komentar tentang apa yang disampaikan teman tadi.
Saya menolak dengan halus dan balik meminta mereka untuk memberikan pendapat secara terbuka saja tentang pendapat teman kami tadi. Semua tampak terlalu halus menyampaikan argumennya untuk ukuran bantahan dan terlalu lembut untuk ukuran dukungan.
Setelah hampir semua berpendapat, akhirnya saya tetap "ditodong" untuk diminta berkomentar. Saya dengan sederhana bertanya,
"Brader, apakah hobi setiap kita sama..?"Â Tidak, jawab seorang teman.
"Apakah barbel 10 kg pasti bisa diangkat setiap kita?"Â Hmmm.. belum tentu, kata teman yang lain.
"Kenapa?" tanya saya lagi.
"Karena setiap kita pasti punya kekuatan yang berbeda.."